Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan di suatu event kepenulisan bertema inovasi negara Belanda pada elemen api. Tulisannya dimuat di website event tersebut tapi layout-nya kurang memuaskan jadi saya posting ulang di sini :P. Semoga suatu hari bisa ikut terjun langsung di proyek renewable energy semacam ini. Aamiin.
***
"Di sana gimana masaknya?", tanya saya pada
seorang teman yang baru beberapa bulan lalu pindah ke salah satu kota di
Belanda.
"Kayak biasa aja. Eh, tapi di sini masaknya pakai
angin lho, nggak pakai api.", jawabnya.
"Hah?", saya heran.
"Hahaha. Eh, tapi beneran lho.", teman saya
menambahkan.
Api adalah fenomena yang terjadi sebagai manifestasi dari
reaksi suatu material dengan oksigen. Pembakaran adalah nama lain proses ini
dalam bahasa sehari-hari. Dua komponen utama api secara umum adalah nyala
terangnya yang terlihat mata, dan energi berupa panas. Energi inilah yang
banyak digunakan oleh manusia untuk berbagai aktivitas kehidupan, sejak awal
sejarah manusia. Pernah lihat film "Castaway" yang dibintangi Tom
Hanks? Film itu bercerita tentang seorang laki-laki yang terdampar di pulau tak
berpenghuni, tanpa teknologi, dimana api menjadi sumber kehidupan yang menjadi
jembatan transfer energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Contoh sederhana
yang digambarkan dalam film itu, api menjembatani perpindahan energi yang
terkandung dalam kayu bakar untuk memanggang ikan, menjadikan ikan bisa dimakan
dan menjadi sumber energi untuk manusia yang mengonsumsinya. Energi adalah
sumber kehidupan, dan api adalah salah satu wujudnya.
Seiring dengan berkembangnya peradaban, kebutuhan manusia
akan energi menjadi semakin meningkat. Badan Pertanian PBB mengestimasi bahwa
kebutuhan energi global di tahun 2050 akan naik dua kali lipat dibandingkan
dengan kebutuhan saat ini [1, 2]. Penggunaan api (atau secara lebih
luasnya, proses pembakaran) dalam memproduksi energi tentunya memerlukan bahan
bakar. Hingga saat ini bahan bakar utama yang digunakan di dunia adalah bahan
bakar fosil, khususnya minyak bumi. Permasalahan utama dalam penggunaan bahan
bakar fosil adalah suplainya yang terbatas dan tidak terbarukan. Mengingat hal
ini, upaya-upaya alternatif dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan
energi.
Kita intermezzo
sejenak. Pernah mendengar istilah energy
carrier? Secara sederhana, energy
carrier dapat diartikan sebagai substansi yang bisa dijadikan sebagai
perantara dari sumber energi ke berbagai perangkat yang membutuhkannya. Bentuk energy carrier yang paling umum
digunakan saat ini adalah listrik.
Salah satu keunggulan utama dari penggunaan listrik
sebagai energy carrier adalah fleksibilitasnya
dalam 2 hal, yaitu (1) dapat diproduksi dari berbagai sumber energi dan (2)
dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Ketergantungan terhadap sumber energi
tertentu, misalnya minyak bumi seperti yang terjadi saat ini, menjadi penyebab
rawannya krisis energi. Kejadian oil price
shock di tahun 1970-an contohnya, menyebabkan kelangkaan minyak di berbagai
belahan dunia, sekaligus krisis ekonomi global. Sifat listrik yang fleksibel
ini juga mendukung pengembangan sumber energi terbarukan. Sumber energi
terbarukan tentunya tidak akan habis sehingga akan tersedia untuk
generasi-generasi mendatang. Maka peralihan penggunaan bahan bakar ke
pemanfaatan listrik merupakan salah satu upaya untuk menjamin keamanan suplai
energi.
Nah, kita kembali ke kisah percakapan dengan seorang
teman yang saya ceritakan di awal. Belanda adalah negara yang memiliki tingkat
elektrifikasi hampir 100% [3], yang berarti hampir seluruh
wilayahnya terhubung dengan jaringan listrik. Negara ini juga memiliki komitmen
tinggi dalam pengembangan dan pemanfaatan berbagai sumber energi terbarukan.
Salah satu wujudnya misalnya adalah ketersediaan fasilitas pembangkit listrik
tenaga angin, yang dapat digunakan oleh teman saya untuk memasak dengan memakai
kompor listrik. Tidak berhenti di sana, Belanda menyelenggarakan proyek inovasi
yang menjadi terobosan penting di bidang energi; Powermatching City.
Powermatching City merupakan perwujudan dari sinergi antara
jaringan listrik yang sudah ada dengan teknologi energi terbarukan yang
tersedia [4]. Proyek yang terletak di Hoogkerk, Groningen
ini adalah proyek pertama di dunia yang mengimplementasikan teknologi smart-grid (upgrade dari jaringan
listrik konvensional yang diintegrasikan dengan teknologi pembacaan, metode
pengendalian dan komunikasi) secara langsung dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Proyek ini melibatkan 42 rumah tangga yang terhubung ke suatu
jaringan smart-grid. Setiap rumah dilengkapi
dengan sumber energi terbarukan (sel surya dan turbin angin) dan µCHP yang
merupakan sumber panas dan energi berbahan bakar gas alam, sehingga dapat
memproduksi energi secara independen. Kelebihan energi yang diproduksi di suatu
rumah dapat diekspor/dijual ke jaringan. Sementara itu, impor atau pembelian energi
dari jaringan akan dikenakan tambahan tarif transpor, sehingga setiap rumah
akan mengutamakan penggunaan energi yang dihasilkannya sendiri. Secara komunal,
sistem ini akan meningkatkan efisiensi karena energi yang hilang dalam proses
distribusi dapat diminimalisir.
Gambaran lokasi Proyek Powermatching City di Groningen,
Belanda (Sumber: www.dnvgl.com dan
www.kema.com)
|
Harga per satuan energi yang dikonsumsi pada jaringan ini
fluktuatif, bergantung pada melimpah atau terbatasnya kesediaan energi pada
waktu tertentu. Aplikasi teknologi smart-grid
pada proyek ini memungkinkan konsumen untuk mengetahui berapa banyak energi
yang digunakan dan harganya secara real-time,
sehingga pola konsumsi dapat diatur agar biaya yang harus dibayarkan bisa
ditekan seminimal mungkin. Untuk memudahkan optimasi biaya, setiap unit rumah
dilengkapi dengan piranti pengendali (Powermatcher) yang mampu mengatur secara
otomatis waktu dan jenis sumber energi yang digunakan agar didapatkan biaya
yang paling murah. Dalam proyek ini, biaya marjinal yang lebih rendah
diterapkan untuk sumber energi terbarukan, sehingga Powermatcher akan
mendahulukan penggunaan energi dari sumber ini. Hal ini sekaligus menjadi
stimulus efektif untuk meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan.
Transformasi pemanfaatan energi
|
Masalah yang sering dihadapi dalam mengadaptasi suatu
konsep teknologi dari skala laboratorium ke skala besar adalah sulitnya
mendapat dukungan dari khalayak yang sudah nyaman dengan kondisi yang ada.
Proyek Powermatching City dapat mengatasi kendala ini dengan menawarkan daya
tarik berupa keuntungan ekonomi, yang dapat memotivasi masyarakat untuk ikut
terlibat. Selain itu, penggunaan perangkat canggih dan serba-pintar juga menjadi
daya tarik tersendiri. Penyelenggaraan proyek Powermatching yang telah memasuki
tahap kedua ini dinilai sangat berhasil sehingga termasuk dalam Sustainia 100, daftar
lebih dari seratus inovasi dari seluruh dunia yang dianggap dapat menjadi
solusi nyata untuk mewujudkan ketahanan lingkungan.
Powermatching City mendukung penggunaan energi secara
efektif, pemanfaatan sumber energi terbarukan, diversifikasi sumber energi, dan
pola konsumsi efisien yang seluruhnya merupakan faktor kritis dalam menjamin
keamanan dan kestabilan suplai energi. Dengan segala kelebihan yang ditawarkan,
proyek unggulan Belanda ini mejadi inovasi yang penting dalam bidang manajemen
energi, manajemen “api” di masa depan.
Referensi:
[1] McCall, A.
FAO UN. UN. UN population growth estimates 1800 to 2100.
[2] Kesting F,
Bliek F. From Consumer to Prosumer: Netherland’s PowerMatching City shows the
way. Elsevier; 2013.
[3] Bliek F,
van den Noort A, Roossien B, et al. PowerMatching City, a living lab
demonstration. IEEE ISGT Goteborg 2010.
No comments:
Post a Comment