30 November 2019

Di mana Hakikat?

Kenapa banyak sekali hal yang (sudah) tidak pada tempatnya di dunia ini?

Penyalahgunaan kekuasaan di banyak level; 
pemutarbalikan kebenaran;
rekayasa nilai;
sistem yang menguntungkan segelintir manusia sambil mencekik miliaran lainnya; 
sekolah yang semakin jauh dari ilmu;
prioritas terbolak-balik;
diri yang lalai pada tujuan penciptaan.

Kenapa banyak sekali tatanan yang kehilangan esensi?

Kenapa banyak sekali manusia -termasuk yang bertanya- yang tidak ingat pada hakikat?

Apa yang sedemikian salah? Apa yang sekian lama hilang?

Begitu, di antara isi kecamuk hati.

***

"Hari ini kita akan membahas tentang ma'iyatullah, kebersamaan dengan Allah", kata ustadzah di kajian yang saya ikuti tadi pagi.

"Bersama dengan Allah, artinya bersama dengan petunjuk-Nya, dengan perlindungan dan penjagaan-Nya. Tidak bersama Allah, artinya lupa pada Allah. Bukan berarti manusia lupa dengan kenyataan bahwa Allah ada, bahwa Rabb kita adalah Allah; tapi manusia lupa untuk menghadirkan Allah dalam apa yang ia lakukan."

Ustadzah lanjut menjelaskan, ada tiga faktor dari lupa pada Allah:
1. Tidak mengawali/meniatkan aktivitas dengan nama Allah
2. Tidak menjalankan aktivitas sesuai syariat
3. Tidak menyengajakan mengingatkan diri (menajamkan perspektif), bahwa apa yang dilakukan bertujuan untuk mendapat ridha Allah

Apa akibatnya jika manusia lupa pada Allah? Mari simak yang Allah firmankan untuk menjadi pengingat bagi manusia, di surat Al Hasyr:19.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Manusia yang lupa pada Allah, disebutkan pada ayat di atas, akan lupa pada dirinya. 

Apa itu lupa diri?

"Perumpamaan manusia yang lupa diri adalah seperti orang yang lupa pada orang tuanya, atau pemimpin yang lupa pada rakyat yang dipimpinnya".

Ia lupa pada perannya, lupa pada amanah yang diembannya. Maka bagaimana ia akan melaksanakan tugasnya dengan baik, jika apa perannya saja ia tak ingat?

Lupa pada Allah -> lupa diri -> lupa hakikat untuk apa ia diciptakan -> kefasikan

Maka hilangnya kesadaran terhadap hakikat dalam kehidupan, bermula dari hilangnya kebersamaan dengan Allah pada langkah dan gerak setiap diri. Hilangnya ma'iyatullah secara kolektif dan masif, berakibat pada terlupakannya esensi pada tatanan sistem, menciptakan kelompok-kelompok yang hanya peduli pada apa yang terlihat.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menjaga kebersamaan dengan Allah? Bagaimana caranya agar diri senantiasa ingat untuk bersama dengan Allah? 

Kita tahu, pada sebagian besar waktu, diri manusia dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Kita bisa memaksa hati untuk secara sadar mengingat sesuatu, tapi umumnya hanya akan mampu bertahan dalam waktu yang singkat.

Maka inilah cara dan prasyarat untuk mencapai kondisi ma'iyatullah; menjaga diri dalam kondisi yang pantas. 

Kepantasan yang seperti apa?

"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat; menjadi tangan yang dia gunakan untuk memegang; dan menjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, sungguh akan Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh akan Aku lindungi. “ (HR. Bukhari no. 6502)

Melaksanakan ibadah yang wajib lalu menambahnya dengan yang sunnah, akan mendatangkan cinta Allah. 

Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah-lah yang akan menjadi penglihatannya, dan pendengarannya, dan melindunginya; membersamainya.

Maka mungkin, di sanalah hakikat. Bersama cinta Allah.

Wallahu a'lam bish shawab.

13 November 2019

Ruang untuk Emosi (dan Poligami?)

"Jangan marah pada mereka yang marah karena cinta", begitu judul keping tulisan dari buku "Sunnah Sedirham Surga" yang kesannya begitu mendalam untuk saya. Buku ini ditulis oleh Ustadz Salim A. Fillah. Keping ini mengisahkan dua peristiwa, hijrahnya Siti Hajar dan bayi Ismail as. yang dipicu oleh kecemburuan Siti Sarah; dan peristiwa A'isyah ra. melempar piring hidangan di hadapan tamunya Rasulullah SAW.

Kisah-kisah tersebut pernah saya baca/dengar sebelumnya, masing-masing kisah di waktu dan kesempatan yang terpisah. Namun, pertanyaan yang sama terlintas di benak; "kan.. istri nabi. Kok gitu?"

Di buku tersebut , Ustadz Salim menceritakan juga detil bagian yang baru saya ketahui.
Kecemburuan Siti Sarah begitu besar, yang termanifestasikan menjadi kemarahan, hingga pada tahap yang membahayakan. Salah satunya misalnya, Siti Sarah bersumpah akan memotong tiga bagian tubuh Siti Hajar.
Pada kisah A'isyah, yang terjadi adalah Rasulullah saw. kedatangan tamu ketika beliau sedang giliran berada di rumahnya. Menjamu tamu Rasulullah saw. adalah sebuah privilege, maka ketika ia mengetahui ada istri lain yang menyiapkan dan menyajikan makanan jamuan, marahlah A'isyah ra. hingga melempar pinggan, langsung di hadapan mereka yang sedang bertamu.

Lintasan di benak saya berulang, dan malah bertambah. "Kan.. istri nabi. Kok gitu?". Bukan pula sembarang nabi, tapi dua manusia yang paling Allah kasihi sepanjang masa. Yang satu bergelar bapak para nabi sekaligus khaliilurrahman, yang lainnya adalah manusia yang pujian atas akhlaqnya bertaburan disebutkan dalam Al-Qur'an.

Apakah Nabi Ibrahim as. merasakan kemarahan di hatinya? Wallahu a'lam. Yang pasti, selanjutnya Allah memerintahkan beliau membawa Siti Hajar dan Ismail as. yang masih bayi untuk hijrah ke tengah padang pasir, tak berpenghuni, tanpa sumber air.
Apakah Rasulullah saw. merasakan kemarahan di hatinya? Wallahu a'alam. Yang pasti, diceritakan dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah saw. mengumpulkan serpihan piring yang pecah, juga makanan yang jatuh, sambil berkata "ghaarat ummukum", "ibu kalian sedang cemburu".

Sejauh saya mencari, tidak ada hukuman untuk Siti Sarah, mohon koreksinya bila kurang tepat. Pun tidak tersebut kalimat hardikan untuk A'isyah ra. Kenapa? Apakah tidak perlu didisiplinkan?

Lalu saya tercenung pada judul yang dipilih, "jangan marah pada mereka yang marah karena cinta". Melalui kedua kisah agung ini, diteladankan bahwa dalam Islam, panduan hidup yang sempurna untuk fitrah manusia, emosi diterima. Tidak melulu dibenarkan, tapi diterima. Teladan ini mengakui bahwa emosi adalah bagian dari diri manusia, terlebih pada perempuan. 

Ingatan saya terbang pada berbagai teori tentang mendidik anak, juga tentang berbagai teknik self-healing. Apa poin esensial yang disebutkan pada kedua topik yang sama-sama membahas tentang pengasuhan jiwa manusia ini?
Terima emosinya. Terima emosinya. Terima emosinya. 
Barulah beranjak pada langkah selanjutnya, tentang menyalurkannya dengan sehat dan aman. 

Apakah menerima emosi perkara mudah? Tidak, terutama pada kondisi si penerima emosi sedang tidak khusyu', tidak tersambung dengan Allah. Sangat mudah untuk malah terpancing dan membalikkan emosi dengan pantulan serupa, kemarahan hebat. Atau berdalih "mendidik dan mendisiplinkan", padahal hati masih dipenuhi kebencian dan kemarahan balasan. 

Tapi apakah itu yang dicontohkan? Bukan.

Saya membayangkan fragmen A'isyah ra. membanting pinggan di hadapan tamu suami yang notabene pemimpin dan teladan tertinggi kaumnya. Bayangkanlah seorang ibu negara yang meledak marah di hadapan duta besar negara tetangga. Apa yang terjadi kira-kira? 
Bahkan jika tanpa mempertimbangkan kedudukan Rasulullah saw., kejadian seperti ini pasti sangat mengusik ego suami. Saya membayangkan, kesabaran dan pengendalian diri sekualitas apa yang dikuasai oleh Rasulullah saw. hingga mampu bertindak setenang yang diceritakan hadits yang menyejarah.

Saya membayangkan Nabi Ibrahim as., yang sebagai laki-laki tentu didominasi logika dibanding emosi. Perintah memindahkan istri dan anak yang masih bayi ke tempat yang berbahaya, "semata-mata" karena kecemburuan istri yang lain itu di mana logisnya? 
Maka kesabaran dan pengendalian diri sekualitas apa yang dikuasai oleh Nabi Ibrahim as., hingga akhirnya beliau membawa Siti Hajar dan sang bayi berjalan sedemikian jauh, lalu meninggalkan mereka begitu saja, bertahun-tahun, menyimpan rindu?

Mahal sekali harga "menerima emosi" ini.

Namun sungguh Allah Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha Adil. Untuk sesuatu yang sulit, maka balasannya pasti berlimpah.

Dari kisah A'isyah ra. di atas, hadits lain terjelaskan dengan sangat nyata; “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku”. Di akhirat nanti, untuk setiap suami yang mencontoh teladan ini, untuk Rasulullah saw.-lah terkumpul balasan terbaik.

Dari kisah Siti Hajar dan Nabi Ibrahim, bermulalah kehidupan di padang gersang yang saat ini bernama Mekah, tempat kiblat utama umat Muslim, tempat jutaan manusia berlari-lari kecil meniru langkah Siti Hajar, tempat jutaan manusia meneguk minum dari sumur zam-zam; setiap detik, sepanjang tahun, tanpa henti. Bahkan dari sumpah Siti Sarah pun saat ini menjadi sunnah; memotong tiga bagian tubuh; menindik kedua telinga, dan khitan untuk wanita. Di akhirat nanti, pada beliau-beliaulah para manusia pilihan Allah, balasan kebaikan ini terkumpul paling banyak.

Islam memberi ruang untuk luapan emosi. Tidak melulu membenarkan, tapi kita diteladankan untuk menerima. Bahwa untuknya diperlukan kesabaran yang tidak main-main, itu benar. Dan balasan atas kesabaran itu pun insyaAllah dilipatgandakan.

 ***

Isi kepala saya terbang lagi ke hal lain, karena hal yang beberapa waktu terakhir kembali terangkat, juga masih berkaitan dengan kedua kisah di atas.

Kemarahan Siti Sarah dan A'isyah, sama-sama dicetus oleh kecemburuan, terhadap istri lain dari suaminya. 
Poligami. Ia adalah bagian dari syariat, kebolehan dalam Islam; yang hadir untuk mengatur apa-apa yang sebelumnya belum diatur, membatasi yang tadinya tidak terbatas. Dua kisah di atas menggambarkan, bahwa bahkan pada kisah para lelaki dan para wanita yang paling shalih, poligami memiliki tantangan tersendiri. 

Islam mengatur dan membolehkan. Bukan memudah-mudahkan.

Sudah. Perihal poligami, aliran pikiran saya berhenti di sini. 
Tadinya rasanya banyak yang ingin ditulis tapi tiba-tiba mandek, qadarullah. Semoga ini penjagaan Allah agar saya tidak menulis mengarang semaunya tanpa ilmu.

Shalawat dan salam untuk dua teladan abadi;

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad, kama shallaita 'ala sayyidina Ibrahim wa 'ala ali sayyidina Ibrahim.

Semoga ada manfaat yang bisa diambil, wallahu a'lam bish shawab.

15 July 2019

Hari Pertama Sekolah

Sorai bangun pagi dengan agak drama dan sedikit derai air mata, "ga mau sekolah Bu, mau di rumah aja". As expected. Anak ibu yang highly sensitive ini butuh waktu untuk masuk dan merasa nyaman di lingkungan baru. Persis emaknye. Alhamdulillah Ibu sedang dikaruniai mode agak solehah, ga pake marah-marah.

Setelah photo session yang tentu saja ga berhasil karena anaknya manyun, berangkatlah Sorai dianter sama Bapaknya. Ibu di rumah nemenin Ade sambil nyiapin sarapan terus yoga (ciee, padahal cuma 10 menit). Hari pertama ini masih sampe jam 9.30 aja, jadi agak reugreug untuk ga nemenin. Rencananya jam 9-an aja berangkat jemput dari rumah, karena sekolahnya 10 menitan aja dari rumah.

Namun rupanya, Bapaknya pulang dan memberitakan bahwa anaknya ga mau dipegang sama Bu Guru, nangis pas ditinggal pergi dan sempet mimisan. Tentu saja ibu langsung gedabrukan siap2 ke sekolah. Ustadzah ga sampe kirim pesan via WA berarti masih terkendali sih, tapi tetep aja ga tenang. 

Sampe sekolah, selesai ngurusin administrasi, Ibu duduk di mesjid yang tepat di bawah kelasnya Sorai. Jadi sekolahnya itu bangunannya nempel sama mesjid. Kelasnya Sorai kebetulan pas di atasnya mesjid. 

Kondisi hari pertama sekolah di TK A ternyata cukup ganas ya, teriakan dan tangisan histeris membahana dimana-mana. Ibu langsung bersyukur Allah nggak mengabulkan keinginan yang dulu sempet terlintas untuk jadi guru TK. Cukupklah Ibu jadi guru TL. Ngadepin mahasiswa aja masih suka nggak sabaran.

Di sisi lain, Ibu juga khawatir kondisi Sorai. Berisik di rumah yang kata Ibu suka bikin pusing, ternyata ga ada apa-apanya dibanding berisiknya anak-anak usia TK yang sebagiannya baru pertama kali jauh dari ibunya. Jeritan anak-anak, masih ditambah teriakan guru-guru manggil nama anak yang melakukan hal berbahaya. Ibu khawatir Sorai kaget atau agak tertekan. Sebagai manusia yang sama-sama wired sebagai highly sensitive, Ibu bisa ngebayangin yang dihadapi Sorai ini stimulasi level tinggi. 

Sambil duduk, Ibu kembali berdoa, doa yang sama dengan yang dirapalkan ketika usap-usap kepala si Anak Langit sebelum bobo di malam sebelumnya. Ibu mohon penjagaan terbaik dari Allah untuk anak-anak ibu, mohon pendidikan terbaik. Mohon agar Sorai ditenangkan hatinya, mohon agar Sorai bisa seneng di sekolahnya. Mohon agar Allah meridhai pilihan ini, sebagai ikhtiar dan langkah awal untuk Sorai belajar ilmu-ilmu-Nya.

Jam di mesjid akhirnya nunjukin angka 9:30, anak-anak mulai turun. Ibu keluar mesjid, nunggu di bawah tangga. Sorai turun, terus senyum waktu liat ibu. Habis peluk, walaupun kepo maksimal, ibu belum berani nanya gimana sekolahnya karena khawatir Sorai masih overwhelmed dengan pengalaman barunya. Ternyata testimoninya muncul sendiri, "Tadi seru, Ibu! Abang main kereta-keretaan, panjang banget.". 
Ngek. Ibu mah dikasih kalimat segitu aja udah pengen cirambay. 

Sorai lanjut cerita, ada anak yang dorong-dorong dan pukul anak lain, terus langsung dilarang sama ustadzah. Habis itu main perosotan. Bekal makannya habis.
"Sekolahnya seru?"
"Seru!"
Alhamdulillah nuhuuun ya Allah..

"Besok berangkatnya jangan nangis lagi ya Bang?"
(anaknya diem dulu) "Tadi abang nangis karena sedih sedikit Bu"
Ah, Ibu baru sadar mungkin permintaannya masih terlalu besar. Besok kita minta lagi sama Allah supaya sekolahnya menyenangkan dan ilmunya berkah dan bermanfaat ya Nak. Besoknya lagi juga sampe seterusnya.

Hari ini Abang keren. Ibu bangga sama Abang. Papa sama Ade juga mesti deh.
Alhamdulillahi bi ni'matihi wa tatimush shalihat..



14 July 2019

Mama

Mama adalah ibu mertua yang, qadarullah, tidak terlalu lama kesempatan saya mengenalnya. Beliau, dalam satu kata, adalah penyayang. Lembut hati dan amat penyayang. Juga jago masak.
Saya tidak pandai menyesuaikan diri dengan orang yang lebih tua, tapi entah kenapa sejak pertemuan pertama, saya merasa nyaman berinteraksi dengan Mama. "Nggak tau nanti apa Putri jodohnya sama Dani atau bukan, tapi Putri udah Mama anggap anak sendiri", kata beliau di awal-awal pertemuan kami.

Beberapa bulan sebelum saya menikah, ketika saya sedang menyelesaikan tesis di Bandung, Aa sakit cukup lama di Jepang. Siang itu Mama telepon saya, minta tolong ikut ingatkan Aa untuk jaga kondisi biar cepat sehat, lalu beliau menangis, tumpah kekhawatiran terhadap sulungnya. Saya hanya bisa diam, menyimak bahasa cinta Ibu yang tidak bisa disampaikan langsung pada anaknya.

Selepas menikah, beberapa kali saya menginap di rumah beliau, melihat Mama yang membaktikan sebagian besar hari-harinya untuk keluarga. Sesekali kami mengobrol berdua saja di kamar, saya mendengarkan Mama cerita tentang masa kecil Aa, atau menyimak nasihat-nasihatnya. Saya ingat Mama sering bilang, "Mama selalu bilang sama anak-anak mama, sama Dadan, sama Dede, biar jangan pernah nyakitin istri. Kalau kalian nyakitin istri, sama artinya kalian menyakiti Mama". Dalam kalimat sederhana itu, saya merasakan kasih sayang Mama untuk kami para menantunya, yang belum begitu lama beliau kenal.

Setahun setelah menikah, kami yang sedang di Jepang menerima kabar mengejutkan, Mama terkena kanker, sudah stadium II B. Beberapa bulan setelahnya Aa beberapa kali kembali ke Indonesia, berbagai pengobatan diupayakan, tapi kondisinya tidak kunjung membaik. Lalu siang itu kami dikabari, kondisi Mama sudah kritis. Tanpa pikir panjang kami segera mencari tiket pulang, berangkat hari itu juga. Sampai di rumah, kondisi Mama sudah sangat lemah, lebih banyak tidak sadar. Ketika kami tiba, Mama sempat siuman sejenak. Saya mencium tangannya, saat beliau berkata "Putri, cantik sekali Nak..".
Itu, rupanya, adalah kalimat terakhir yang beliau tujukan untuk saya. Setelahnya beliau kembali tidak sadar, dan beberapa hari kemudian berpulang.

***

Kalau lihat Sorai main, ada kalanya saya teringat Mama, membayangkan betapa Sorai pasti sangat disayang dan dimanja oleh beliau. Sesekali juga bermimpi tentang Mama, rasanya damai. Saya nggak berani cerita sama Aa kalau sedang ingat Mama, pasti langsung sedih karena Aa dekat sekali sama Mama (Aa, ga usah baca post yang ini ya, hehe). Kalau sedang kangen, saya minta Aa telepon adiknya Mama yang mirip dengan beliau. Mendengar suaranya seringkali cukup untuk menenangkan hati.

Siang ini, entah kenapa rasa kangennya banyak sekali. Air mata tidak mau berhenti mengalir selepas Dzuhur tadi. Semoga Allah memberi ampunan dan memuliakan kedudukannya. Semoga kelak kami bisa berkumpul kembali dalam ridha-Nya. 

(Jumat, 10 Februari 2017)

21 April 2018

Buku-Buku Maret 2018

Buku-buku bulan ini masih disponsori oleh aplikasi iPusnas dengan tambahan buku yang dibeli dengan diskon imlek dari Google Play, 90% dan 85%! Walbiyasha.
Nggak ada diskon lagi nih, Google Play? Nggak ada banget? Banget banget?

1. Rectoverso (Dee) - selesai
E-book, pinjem di iPusnas

Waktu kuliah, serial supernova saya masukkan kategori wajib baca. Tapi entah kenapa, hati tidak tergerak untuk baca bukunya Dewi Lestari yang ini. Lalu kemarenan itu iseng jalan-jalan di iPusnas, liat buku ini, "eh, kok nggak ada antrian? Cingan coba pinjem. Eh bisa!". Jadi baca deh.. Begitulah.
Bukunya Dewi Lestari mah bahas apanya atuh ya, bagus mah ya nama penulisnya pun sudah jaminan lah, kualitas terjaga. Yang menjadi highlight untuk saya adalah personal experience saat membacanya. Buku ini, secara intensif membahas tentang perasaan, mengupas apa yang tokoh-tokohnya rasakan di berbagai kejadian. Halaman demi halaman dibuka, eh tapi ini kok agak memaksakan diri sih buat nerusin baca? Lalu barulah tersadar bahwa ternyata topic of interest bacaan saya sudah bergeser..
Jaman bareto, bahasan abstrak seperti perasaan ini adalah santapan nikmat untuk si jiwa melankolis, sekarang mah asa rada rieut bacanya XD. Lebih senang baca yang real dan evidence-based saja lah. Yang pasti bukan karena isinya yang nggak bagus sih. Sayanya aja yang sudah terpapar realita hidup (ibu-ibu), diajak menyelami perasaan mah, ah tos teu ngartos we sawios.

Personal score: 3.7/5

2. The Gene, An Intimate History (Siddhartha Mukherjee) - selesai, FUAH! Akhirnyah!
Versi cetak beli di BBW

Bagian akhir dari buku ini membahas tentang teknologi DNA sequencing yang udah bisa membaca adanya kemungkinan penyakit dari kode DNA pada embrio (bahkan pada usia janin yang baru beberapa minggu), terutama untuk penyakit yang sifatnya high penetrance; maksudnya, keberadaan (kelainan) kode DNA tertentu kemungkinannya tinggi untuk menjadi pemicu timbulnya penyakit di kemudian hari, apalagi kalau ditambah dengan adanya garis keturunan yang memiliki sejarah sakit yang sama. Contoh penyakit yang termasuk kategori ini diantaranya down syndrome, breast cancer dan alzheimer.
Bab terakhir buku ini judulnya Post-Genome. Jadi, sejak awal tahun 2000an, para geneticist terkemuka di seluruh dunia bekerja dalam sebuah proyek raksasa bernama The Human Genome Project (a bit of tangent, this project inspired the title of "The Rosie Project" novel). Proyek ini inti pekerjaannya ada menerjemahkan seluruh kode genetik yang ada pada tubuh manusia, mengetahui fungsi apa yang diregulasi oleh setiap rangkaian kode DNA. Bahasan post-genome mempertanyakan apa yang akan dilakukan oleh manusia setelah nanti tau keseluruhan isi tubuhnya. "Oke, sekarang kita udah tau seluruh komponen dasar penyusun tubuh kita, sudah tau kalau mau memodifikasi fungsi yang ini, yang mesti diubah adalah kode DNA yang itu. Terus apa?".
Roughly saying, secara ilmu pengetahuan, teknik modifikasi genetika sudah memungkinkan (setidaknya dasarnya sudah ada, dan pengembangannya terus dilakukan) untuk melakukan intervensi terhadap bagian apa pun dari tubuh manusia. Pertanyaan selanjutnya, pengetahuan ini mau dipakai untuk apa? Apakah setiap embrio yang diketahui memiliki kelainan akan dieliminasi? Apakah manusia akan diberi kebebasan untuk memilih komposisi karakter apa yang diinginkan dari keturunannya? Dan, salah satu pertanyaan yang paling penting, aturan dan etika seperti apa yang perlu dirancang agar umat manusia tidak sampai menghancurkan dirinya sendiri?

Dari sisi lain, buku ini menarik karena menyajikan temuan-temuan ilmiah di bidang genetika dari sudut pandang kisah orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Cara penceritaan seperti ini ditemui juga di buku pop-sci lain yang menang Pulitzer. Efeknya adalah topik yang diceritakan terasa lebih membumi dan manusiawi, kalau dibandingkan dengan hanya membahas objek penelitiannya.

Personal score: 4.2/5

3. Origin (Dan Brown) - selesai
Versi e-book beli di Google Play (pake diskon imlek dong tentu~) Waktu milih kategori buku fiksi, novel ini saya beli dengan pertimbangan.. harganya paling mahal, hehehe. Alasan lainnya, adalah karena pernah dibahas selintas oleh Ust. Salim A. Fillah. If he made time to read this in the midst of his tight schedule then it has got to be worth it, so I suppose.

Terus gimana, seru? Baaangeeeeeet.

Posisi teratas novel genre sci-fi (versi saya), yang tadinya diduduki Quantum Lens (Douglas E. Richard), langsung direbut oleh buku ini. Dibanding judul-judul novel Dan Brown sebelumnya, Origin ini yang paling keren dan paling menghanyutkan saat bacanya (of course availability bias might interfere my opinion, but anyway..).
Kisahnya adalah tentang seorang teknokrat yang sangat ahli di bidang modeling matematis, kredibilitasnya meroket karena prediksinya tentang kondisi ekonomi regional (atau global?) berulang kali terbukti akurat. Konflik utama dari buku ini adalah ketika si teknokrat membuat model yang menjawab dua pertanyaan utama umat manusia:

From where do we come from? 
Where are we going? 

Hasil modelingnya, dikisahkan akan mengubah total persepsi diri manusia dan menggoyahkan "dogma agama". Prediksinya apa? Nah, bagian ini seru banget. Plausible and heavily fact-based. 

Poin plus-plus dari novelnya Dan Brown adalah bahwa hasil penelitian yang dinukil itu betul-betul ada, latar tempat juga nyata dan digambarkan dengan sangat detil, jadi sambil baca rasanya sambil belajar sekaligus jalan-jalan. Di buku ini, topik bahasannya luas banget, dari big bag, evolusi, genetika, entropi, seni, dan yang paling dominan adalah bidang artificial intelligence. Plotnya sedap, dramanya juga pas sebagai bumbu dan ga berlebihan. Pas akhirnya sampai ke halaman terakhir buku, saya menarik napas panjang; antara kehilangan karena bukunya udahan sekaligus lega karena konfliknya selesai. 
Super. 

Personal score: 4.8/5 

4. Sapiens, A Brief History of Humankind (Yuval Noah Harari) - halaman 200an dari 280an 
E-book, beli di Google Play

Buku ini, udah lamaaa banget ada di wishlist, hampir 3 tahun. Bolak-balik cek stok di Periplus tapi belinya nggak jadi-jadi, karena terselingi baca buku-buku yang dibeli di BBW. Maka, ketika ada diskon yang di Google Play itu, buku ini otomatis jadi judul pertama yang terlintas. Dicari.. dicari.. dan akhirnya dapet versi bundling (sama Homo Deus) dengan harga nggak sampai 30 ribu rupiah! Brb ambil tisu nangis terharu.

Lalu setelah sekian lama tertunda dan menanti untuk ketemu, apakah buku ini worth the wait? 
Yes. Yes yes yes. 

Buku ini adalah jenis buku langka yang bisa mengubah/memperkaya perspektif tentang hal-hal yang mendasar; tentang sejarah kehidupan, tentang umat manusia, tentang diri. 
Salah satu bahasan yang menarik di bagian awal, adalah tentang posisi Hominid (genus Homo, Sapiens adalah salah satu bagiannya) pada rantai makanan. Dari sudut pandang kajian evolusi, Hominid ada pada satu kelompok besar dengan primata. Secara umum, primata ini kelasnya kan sedang-sedang saja, bukan predator kelas atas, bukan juga mangsa lemah yang ada di kelas terbawah. Sampai hari ini, primata lain (seperti monyet, orang utan, gorila) juga kelasnya masih ada di tengah untuk rantai makanan. Tapi sesuatu terjadi pada Sapiens, sebuah titik perubahan yang diistilahkan sebagai cognitive revolution. Apa penyebab cognitive revolution? Kalau dari bahasan evolusi sih ya hasil random event aja, purposeless sebagaimana yang terjadi pada seluruh makhluk di muka bumi. Setelah titik ini, Sapiens jadi memiliki kemampuan untuk memanipulasi lingkungan dengan level yang belum pernah sanggupdilakukan oleh makhluk yang pernah ada sebelumnya. Salah satu kunci dari kemampuan ini, adalah pada keterampilan komunikasi yang kompleks, bahasa. Kunci lain, adalah "penguasaan" api, kontrol energi
Setelah terjadinya cognitive revolution, tahap demi tahap Sapiens naik kelas, hingga akhirnya menempati puncak rantai makanan. Proses naiknya Sapiens ini, untuk skala waktu evolusi, terjadi waktu yang sangat cepat sehingga tidak memberikan kesempatan bagi hewan lain, dan planet bumi secara umum, untuk beradaptasi. Hasilnya? Diawali dengan kepunahan dari banyak jenis hewan raksasa. Kedatangan Sapiens ke suatu lokasi baru, diikuti dengan punahnya hewan-hewan raksasa yang kemungkinan diburu, baik karena dianggap bahaya atau karena dijadikan bahan makanan. Hewan raksasa kan mudah terlihat ya, jadi sasaran empuk. Sementara hewannya sendiri belum sempat beradaptasi dengan keberadaan makhluk dengan ukuran badan jauh lebih kecil tapi ternyata sangat berbahaya. Sebagai gambaran, mungkin dikiranya ketemu sejenis monyet yang bukan merupakan ancaman untuk mereka gitu, sehingga hewan-hewan ini tidak mempunyai mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi Sapiens. Fakta pendukung untuk hipotesa ini, adalah bahwa fosil hewan marsupial raksasa termuda di Australia dan fosil hewan pengerat raksasa termuda di Amerika, usianya tidak jauh dengan jarak kedatangan Sapiens pertama kali ke dua benua tersebut. Permasalahan ini tidak berhenti di kepunahan hewan raksasa, banyak kasus unsustainability yang kemudian menjadi akibat dari "terlalu cepatnya" Sapiens naik ke puncak rantai makanan. 

Bahasan untuk setiap tema tidak terlalu mendalam, ya judulnya juga brief history sih.. Tapi cukup jelas untuk menggambarkan masing-masing peristiwa penting dalam sejarah umat manusia, sekaligus kaitan antara satu fenomena dengan yang lainnya. 
Satu hal lagi, buku ditulis dengan logika yang solid sekaligus (untuk kategori non-fiksi) alur yang menghanyutkan. Di sisi lain, sudut pandangnya hanya menganggap real hal-hal yang empiris. Nggak empiris? Ya nggak real, semata hasil imajinasi manusia. Di beberapa bagian, saya sampe baca ta'awudz berkali-kali XD, biar nggak sembarangan terbawa arus pemikiran penulisnya. 

Personal score: belum ada karena belum selesai