30 November 2019

Di mana Hakikat?

Kenapa banyak sekali hal yang (sudah) tidak pada tempatnya di dunia ini?

Penyalahgunaan kekuasaan di banyak level; 
pemutarbalikan kebenaran;
rekayasa nilai;
sistem yang menguntungkan segelintir manusia sambil mencekik miliaran lainnya; 
sekolah yang semakin jauh dari ilmu;
prioritas terbolak-balik;
diri yang lalai pada tujuan penciptaan.

Kenapa banyak sekali tatanan yang kehilangan esensi?

Kenapa banyak sekali manusia -termasuk yang bertanya- yang tidak ingat pada hakikat?

Apa yang sedemikian salah? Apa yang sekian lama hilang?

Begitu, di antara isi kecamuk hati.

***

"Hari ini kita akan membahas tentang ma'iyatullah, kebersamaan dengan Allah", kata ustadzah di kajian yang saya ikuti tadi pagi.

"Bersama dengan Allah, artinya bersama dengan petunjuk-Nya, dengan perlindungan dan penjagaan-Nya. Tidak bersama Allah, artinya lupa pada Allah. Bukan berarti manusia lupa dengan kenyataan bahwa Allah ada, bahwa Rabb kita adalah Allah; tapi manusia lupa untuk menghadirkan Allah dalam apa yang ia lakukan."

Ustadzah lanjut menjelaskan, ada tiga faktor dari lupa pada Allah:
1. Tidak mengawali/meniatkan aktivitas dengan nama Allah
2. Tidak menjalankan aktivitas sesuai syariat
3. Tidak menyengajakan mengingatkan diri (menajamkan perspektif), bahwa apa yang dilakukan bertujuan untuk mendapat ridha Allah

Apa akibatnya jika manusia lupa pada Allah? Mari simak yang Allah firmankan untuk menjadi pengingat bagi manusia, di surat Al Hasyr:19.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Manusia yang lupa pada Allah, disebutkan pada ayat di atas, akan lupa pada dirinya. 

Apa itu lupa diri?

"Perumpamaan manusia yang lupa diri adalah seperti orang yang lupa pada orang tuanya, atau pemimpin yang lupa pada rakyat yang dipimpinnya".

Ia lupa pada perannya, lupa pada amanah yang diembannya. Maka bagaimana ia akan melaksanakan tugasnya dengan baik, jika apa perannya saja ia tak ingat?

Lupa pada Allah -> lupa diri -> lupa hakikat untuk apa ia diciptakan -> kefasikan

Maka hilangnya kesadaran terhadap hakikat dalam kehidupan, bermula dari hilangnya kebersamaan dengan Allah pada langkah dan gerak setiap diri. Hilangnya ma'iyatullah secara kolektif dan masif, berakibat pada terlupakannya esensi pada tatanan sistem, menciptakan kelompok-kelompok yang hanya peduli pada apa yang terlihat.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menjaga kebersamaan dengan Allah? Bagaimana caranya agar diri senantiasa ingat untuk bersama dengan Allah? 

Kita tahu, pada sebagian besar waktu, diri manusia dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Kita bisa memaksa hati untuk secara sadar mengingat sesuatu, tapi umumnya hanya akan mampu bertahan dalam waktu yang singkat.

Maka inilah cara dan prasyarat untuk mencapai kondisi ma'iyatullah; menjaga diri dalam kondisi yang pantas. 

Kepantasan yang seperti apa?

"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat; menjadi tangan yang dia gunakan untuk memegang; dan menjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, sungguh akan Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh akan Aku lindungi. “ (HR. Bukhari no. 6502)

Melaksanakan ibadah yang wajib lalu menambahnya dengan yang sunnah, akan mendatangkan cinta Allah. 

Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah-lah yang akan menjadi penglihatannya, dan pendengarannya, dan melindunginya; membersamainya.

Maka mungkin, di sanalah hakikat. Bersama cinta Allah.

Wallahu a'lam bish shawab.

No comments: