Experience membaca dari buku cetak itu, feel-nya masih belum bisa tergantikan. Tapi sungguh saya berterimakasih pada penggagas e-book dan para pembuat aplikasi yang menjadikan baca e-book juga bisa dinikmati. E-book ini penyelamat (literasi) ibu-ibu sok riweuh yang seringkali baru sempat baca setelah seisi rumah pada bobo dan lampu udah mati semua.
Jadi bulan kemarin baca buku apa aja?
1. Kesturi dan Kepodang Kuning (Afifah Afra) - selesai
Fiksi, e-book hasil pinjem di iPusnas.
Baca buku ini setelah terjeda bertahun-tahun dari terakhir baca buku karya Afifah Afra. Kesannya, hmmm apa ya lupa haha. Light reading, dibaca dalam rangka pengen nyobain aja baca buku pake aplikasi iPusnas yang baru di-download. So yeah, no particular discussion for this book.
Personal score: 3/5
2. Muhammad, Generasi Penggema Hujan (Tasaro GK) - selesai
Fiksi berdasarkan fakta sejarah, e-book pinjem di iPusnas
Seri terakhir dari tetralogi terkait sirah nabawiyah yang ditulis oleh Tasaro ini mengisahkan tentang periode kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, periode yang paling menggelisahkan hati dari masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Buku ini tentunya tidak bisa dijadikan referensi sejarah, karena memang penulisnya juga bukan membuatnya untuk jadi rujukan. Tapi bentuknya yang berupa novel punya kekuatan lain yang sulit dihadirkan oleh buku referensi; kekuatan mengikat emosi. Kalau emosi sudah terlibat dan terikat, pembaca lebih mudah diantarkan untuk membaca rujukan yang terpercaya tentang topik yang dibahas. Saya rasa ini juga yang menjadi salah satu tujuan penulisnya.
Personal score: 4.6/5
3. The Gene (Siddharta Mukherjee) - halaman 422 dari 500-an
Non-fiksi, buku cetak
Februari ini udah lupa deh bulan ketiga atau keempat baca buku The Gene, hahaha. Faktor utama penyebab lambatnya adalah aspek fisik, bukunya setebal lebih dari 500 halaman dan hardcover. Waktu yang memungkinkan untuk baca buku ini adalah beberapa menit me-time di pagi hari sebelum anak-anak bangun, jadi ya..
Buku ini adalah salah satu judul yang saya pilih sebagai upaya rekonsiliasi hubungan saya dengan sains dasar. I believe I (and the curriculum, at least those applied at the schools I attended) approached basic science wrongly, as the study was intended only to pass exams and not to understand how the nature really works.
Setelah sebelumnya belajar ulang konsep-konsep dasar fisika dan elemen penyusun alam semesta dengan baca The Fabric of The Cosmos (Brian Greene), untuk kenalan lagi dengan biologi dan penyusun dasar makhluk hidup saya baca buku ini yang masuk top 10 popular science book versi Bill Gates. The reading process of this kind of books could be painful at times, there were some moments when I could just stare blankly at the words on the opened pages because the topic was way above my understanding level. But the sacrifice (i.e. the intention and times I invested to keep reading) really pays off. Though at the end of the book I still couldn't comprehend a lot of things that is discussed, my literacy increase along with my curiosity; and the topic that ignites my interest has been notably expanded.
Okay, back to The Gene. Buku ini membahas sejarah perkenalan (dan pemahaman) manusia dengan bidang genetika, dari bibit pertama pea beans yang ditanam Gregor Mendel sampai teknologi genetic sequencing-modification yang ada saat ini. Topik bahasannya banyak sekali yang menarik (no wonder, tebalnya aja kan segitu ya), tapi yang paling membekas sejauh ini ada dua; eugenics dan epigenetic. Apakah itu?
Eugenics
Eugenics, roughly interpreted, adalah tentang pemilihan sifat-sifat terbaik manusia (sekaligus eliminasi sifat-sifat yang dianggap lemah) yang diwariskan ke generasi selanjutnya (secara biologis). Para racist menggunakan istilah ini untuk menjadi "pembenaran ilmiah" segregasi kelas sosial berdasarkan ras. Para eugenicist ini menganggap karakteristik tertentu dari suatu ras, terutama yang fenotip/kasat mata, sebagai inferior dan seharusnya dihapuskan, hence the apartheid system and ethnic cleansing movement.
Eugenics ini adalah istilah kunci yang jadi benang merah antara tragedi NAZI dan teori evolusi, yang kemudian sering dipakai oleh para anti-evolusionis untuk mendiskreditkan teori yang digagas Darwin. Sebenarnya apakah ada hubungannya? Truth to be told, there was, but not directly. And the two things (eugenics and evolution theory) linked in a rather interesting manner.
Charles Darwin datang dari keluarga dengan latar belakang elit akademisi. Kakeknya, Erasmus Darwin, juga seorang ilmuwan berpengaruh pada masanya. Charles ini punya sepupu, namanya Francis Galton, yang sejak kecil prestasi akademiknya cemerlang.
Setelah kepulangannya dari Pulau Galapagos, Charles Darwin jadi selebriti di kalangan naturalis. Dengan gagasannya tentang evolusi, namanya mulai dikenal di kalangan ilmuwan. Seiring perkembangan teori ini, dikenallah istilah "survival of the fittest", yang meskipun bukan diungkapkan oleh Darwin tapi dianggap sebagai ungkapan yang lekat dengan evolusi. Galton, si sepupu yang pintar tadi, terinspirasi dengan istilah ini dan menganggap bahwa karakteristik tertentu dari manusia ada yang merupakan hasil evolusi yang sudah mulai obsolete dan merupakan kelemahan. Badan yang lebih pendek, hidung yang lebih pesek, kecerdasan yang lebih rendah; ini sifat buruk, yang akan merugikan kalau terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Why don't we just cut it then? Dan untuk memudahkan penyebutan kita beri istilah deh, upaya ini. Lalu dicetuskanlah terminologi eugenics oleh Galton, dari akar kata Bahasa Yunani.; "eu", artinya bagus, dan "genos" yang artinya stock/race.
Pendukung eugenics, yang surprisingly cukup banyak dan menduduki jabatan tinggi, betul-betul menerjemahkan upaya ini ke policy yang diterapkan di daerah kekuasaan masing-masing. Di beberapa wilayah, orang-orang yang dianggap sebagai bad seed dibuatkan camp khusus "orang-orang terbelakang" dan dikarantina, disterilkan agar tidak bisa bereproduksi. Apa saja yang dikategorikan sebagai karakteristik bad seed? Ya apa saja yang dianggap sebagai kelemahan oleh para eugenicist. And as if this was not cruel enough, they tried to accelerate the elimination process. By creating this kind of concentration camps, they will have to wait for at least one or two generations until the could eradicate the "inferior characteristic". "Why don't we make it faster and just kill them directly?", hence came the darkest effect of this movement, among those is the gas chamber in Auschwitz operated by NAZI. A very dark tragedy in the history of humanity.
Epigenetic
Epigenetic, roughly speaking, adalah sebuah bidang studi yang mempelajari perubahan genetika pada individu akibat interaksinya dengan lingkungan. Yes, interaksi makhluk hidup dengan lingkungan ternyata cukup powerful untuk sampai bisa mengubah kode DNA-nya.
Pada lebah contohnya, lebah ratu ternyata menetas dengan sequence DNA yang persis sama dengan lebah biasa, tidak ada bedanya. Tapi ketika dalam periode metamorfosa, yang kemudian menjadi ratu adalah telur yang mengalami keterbatasan sumber nutrisi tertentu. Analogi bebasnya, kalau diibaratkan anak-anak, ratu lebah ini masa kecilnya memiliki keterbatasan untuk memilih jenis nutrisi; nggak makan permen, nggak makan junk food. Hasilnya, ada sequence DNA tertentu yang mengalami modifikasi, dan menjadikannya ratu.
Efek epigenetic pada manusia juga sudah dipelajari. Kejadian traumatis seperti perang, atau bahkan bullying, itu juga efeknya bisa sampai mengubah kode DNA. Kalau kode DNA berubah, dampak fisiologisnya tentu ada ya; ekskresi hormon misalnya, yang kemudian memiliki efek fisik atau psikologis. Yang perlu dicatat lagi, perubahan ini bisa diwariskan sampai ke 2 generasi di bawahnya.
This finding answer the old question about ourselves: are we the product of nature or nurture?
The answer is BOTH. Because even what the nature provide could be affected by the nurture, and vice versa.
Personal score: belum ada karena belum tamat
***
Lumayan, sebulan baca lebih dari satu buku. :D
Mudah-mudahan ilmu yang sudah dibaca membawa berkah dunia akhirat, aamiin.