26 March 2018

Buku-buku Februari 2018

Experience membaca dari buku cetak itu, feel-nya masih belum bisa tergantikan. Tapi sungguh saya berterimakasih pada penggagas e-book dan para pembuat aplikasi yang menjadikan baca e-book juga bisa dinikmati. E-book ini penyelamat (literasi) ibu-ibu sok riweuh yang seringkali baru sempat baca setelah seisi rumah pada bobo dan lampu udah mati semua. 

Jadi bulan kemarin baca buku apa aja?


1. Kesturi dan Kepodang Kuning (Afifah Afra) - selesai
Fiksi, e-book hasil pinjem di iPusnas. 

Baca buku ini setelah terjeda bertahun-tahun dari terakhir baca buku karya Afifah Afra. Kesannya, hmmm apa ya lupa haha. Light reading, dibaca dalam rangka pengen nyobain aja baca buku pake aplikasi iPusnas yang baru di-download. So yeah, no particular discussion for this book.

Personal score: 3/5

2. Muhammad, Generasi Penggema Hujan (Tasaro GK) - selesai
Fiksi berdasarkan fakta sejarah, e-book pinjem di iPusnas

Seri terakhir dari tetralogi terkait sirah nabawiyah yang ditulis oleh Tasaro ini mengisahkan tentang periode kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, periode yang paling menggelisahkan hati dari masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. 
Buku ini tentunya tidak bisa dijadikan referensi sejarah, karena memang penulisnya juga bukan membuatnya untuk jadi rujukan. Tapi bentuknya yang berupa novel punya kekuatan lain yang sulit dihadirkan oleh buku referensi; kekuatan mengikat emosi. Kalau emosi sudah terlibat dan terikat, pembaca lebih mudah diantarkan untuk membaca rujukan yang terpercaya tentang topik yang dibahas. Saya rasa ini juga yang menjadi salah satu tujuan penulisnya.

Personal score: 4.6/5 

3. The Gene (Siddharta Mukherjee) - halaman 422 dari 500-an 
Non-fiksi, buku cetak

Februari ini udah lupa deh bulan ketiga atau keempat baca buku The Gene, hahaha. Faktor utama penyebab lambatnya adalah aspek fisik, bukunya setebal lebih dari 500 halaman dan hardcover. Waktu yang memungkinkan untuk baca buku ini adalah beberapa menit me-time di pagi hari sebelum anak-anak bangun, jadi ya.. 
Buku ini adalah salah satu judul yang saya pilih sebagai upaya rekonsiliasi hubungan saya dengan sains dasar. I believe I (and the curriculum, at least those applied at the schools I attended) approached basic science wrongly, as the study was intended only to pass exams and not to understand how the nature really works.
Setelah sebelumnya belajar ulang konsep-konsep dasar fisika dan elemen penyusun alam semesta dengan baca The Fabric of The Cosmos (Brian Greene), untuk kenalan lagi dengan biologi dan penyusun dasar makhluk hidup saya baca buku ini yang masuk top 10 popular science book versi Bill Gates. The reading process of this kind of books could be painful at times, there were some moments when I could just stare blankly at the words on the opened pages because the topic was way above my understanding level. But the sacrifice (i.e. the intention and times I invested to keep reading) really pays off. Though at the end of the book I still couldn't comprehend a lot of things that is discussed, my literacy increase along with my curiosity; and the topic that ignites my interest has been notably expanded. 

Okay, back to The Gene. Buku ini membahas sejarah perkenalan (dan pemahaman) manusia dengan bidang genetika, dari bibit pertama pea beans yang ditanam Gregor Mendel sampai teknologi genetic sequencing-modification yang ada saat ini. Topik bahasannya banyak sekali yang menarik (no wonder, tebalnya aja kan segitu ya), tapi yang paling membekas sejauh ini ada dua; eugenics dan epigenetic. Apakah itu? 

Eugenics
Eugenics, roughly interpreted, adalah tentang pemilihan sifat-sifat terbaik manusia (sekaligus eliminasi sifat-sifat yang dianggap lemah) yang diwariskan ke generasi selanjutnya (secara biologis). Para racist menggunakan istilah ini untuk menjadi "pembenaran ilmiah" segregasi kelas sosial berdasarkan ras. Para eugenicist ini menganggap karakteristik tertentu dari suatu ras, terutama yang fenotip/kasat mata, sebagai inferior dan seharusnya dihapuskan, hence the apartheid system and ethnic cleansing movement.
Eugenics ini adalah istilah kunci yang jadi benang merah antara tragedi NAZI dan teori evolusi, yang kemudian sering dipakai oleh para anti-evolusionis untuk mendiskreditkan teori yang digagas Darwin. Sebenarnya apakah ada hubungannya? Truth to be told, there was, but not directly. And the two things (eugenics and evolution theory) linked in a rather interesting manner. 
Charles Darwin datang dari keluarga dengan latar belakang elit akademisi. Kakeknya, Erasmus Darwin, juga seorang ilmuwan berpengaruh pada masanya. Charles ini punya sepupu, namanya Francis Galton, yang sejak kecil prestasi akademiknya cemerlang. 
Setelah kepulangannya dari Pulau Galapagos, Charles Darwin jadi selebriti di kalangan naturalis. Dengan gagasannya tentang evolusi, namanya mulai dikenal di kalangan ilmuwan. Seiring perkembangan teori ini, dikenallah istilah "survival of the fittest", yang meskipun bukan diungkapkan oleh Darwin tapi dianggap sebagai ungkapan yang lekat dengan evolusi. Galton, si sepupu yang pintar tadi, terinspirasi dengan istilah ini dan menganggap bahwa karakteristik tertentu dari manusia ada yang merupakan hasil evolusi yang sudah mulai obsolete dan merupakan kelemahan. Badan yang lebih pendek, hidung yang lebih pesek, kecerdasan yang lebih rendah; ini sifat buruk, yang akan merugikan kalau terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Why don't we just cut it then? Dan untuk memudahkan penyebutan kita beri istilah deh, upaya ini. Lalu dicetuskanlah terminologi eugenics oleh Galton, dari akar kata Bahasa Yunani.; "eu", artinya bagus, dan "genos" yang artinya stock/race.
Pendukung eugenics, yang surprisingly cukup banyak dan menduduki jabatan tinggi, betul-betul menerjemahkan upaya ini ke policy yang diterapkan di daerah kekuasaan masing-masing. Di beberapa wilayah, orang-orang yang dianggap sebagai bad seed dibuatkan camp khusus "orang-orang terbelakang" dan dikarantina, disterilkan agar tidak bisa bereproduksi. Apa saja yang dikategorikan sebagai karakteristik bad seed? Ya apa saja yang dianggap sebagai kelemahan oleh para eugenicist. And as if this was not cruel enough, they tried to accelerate the elimination process. By creating this kind of concentration camps, they will have to wait for at least one or two generations until the could eradicate the "inferior characteristic". "Why don't we make it faster and just kill them directly?", hence came the darkest effect of this movement, among those is the gas chamber in Auschwitz operated by NAZI. A very dark tragedy in the history of humanity.  

Epigenetic
Epigenetic, roughly speaking, adalah sebuah bidang studi yang mempelajari perubahan genetika pada individu akibat interaksinya dengan lingkungan. Yes, interaksi makhluk hidup dengan lingkungan ternyata cukup powerful untuk sampai bisa mengubah kode DNA-nya. 
Pada lebah contohnya, lebah ratu ternyata menetas dengan sequence DNA yang persis sama dengan lebah biasa, tidak ada bedanya. Tapi ketika dalam periode metamorfosa, yang kemudian menjadi ratu adalah telur yang mengalami keterbatasan sumber nutrisi tertentu. Analogi bebasnya, kalau diibaratkan anak-anak, ratu lebah ini masa kecilnya memiliki keterbatasan untuk memilih jenis nutrisi; nggak makan permen, nggak makan junk food. Hasilnya, ada sequence DNA tertentu yang mengalami modifikasi, dan menjadikannya ratu. 
Efek epigenetic pada manusia juga sudah dipelajari. Kejadian traumatis seperti perang, atau bahkan bullying, itu juga efeknya bisa sampai mengubah kode DNA. Kalau kode DNA berubah, dampak fisiologisnya tentu ada ya; ekskresi hormon misalnya, yang kemudian memiliki efek fisik atau psikologis. Yang perlu dicatat lagi, perubahan ini bisa diwariskan sampai ke 2 generasi di bawahnya. 

This finding answer the old question about ourselves: are we the product of nature or nurture? 
The answer is BOTH. Because even what the nature provide could be affected by the nurture, and vice versa.

Personal score: belum ada karena belum tamat

***

Lumayan, sebulan baca lebih dari satu buku. :D
Mudah-mudahan ilmu yang sudah dibaca membawa berkah dunia akhirat, aamiin.
  

23 May 2017

Warisan; sebuah refleksi pribadi

Iya, ini terkait tulisan seorang pemudi kritis yang menurut saya pribadi level kedewasaan, kekritisan dan concern-nya terhadap isu sosial, jauh di atas rata-rata remaja seusianya :). Semoga Allah menjaga dan membimbingnya selalu.
Terhadap konten tulisannya sendiri, ide utamanya saya rasa tentang perbedaan yang jangan sampai menjadi sumber perpecahan, tentu saya setujui. Tapi beberapa poin yang disampaikan sangat tidak sejalan dengan yang saya pahami. Anyway, saya bukan 'ulama, rasanya tidak berkapasitas mengupas isinya. Yang menggelitik saya adalah betapa beragamnya komentar yang ditujukan terhadap tulisan ini, juga terhadap penulisnya. Berikut beberapa hal yang menjadi refleksi pribadi setelah menyimak tulisan tersebut dan berbagai reaksinya.

Tentang "agama adalah warisan"

Sebatas yang saya pahami, poin inilah yang menjadi bahan perdebatan utama. Saya kaget melihat reaksi orang-orang yang begitu kaget dengan diangkatnya isu ini (jadinya kaget-ception), karena tadinya saya kira ini sudah menjadi "tantangan" standar yang diajukan pada orang yang memilih suatu keyakinan (terutama Islam).  
Saya ingat, pertanyaan ini pertama kali saya terima waktu SMP, dari seorang guru ngaji. Beberapa kali saya terima lagi sewaktu SMA, lagi-lagi dari pendamping mengaji. Tentunya bukan dalam konteks menguji; setelah diberi kesempatan untuk berpikir, saya dan teman-teman diberi arahan mengapa Islam yang kami anut bukan warisan, diberi tempat untuk bertanya sekiranya ada hal yang belum kami mengerti. Maka saya kira pernyataan ini sudah menjadi semacam terintegrasi dalam kurikulum pembelajaran agama. Sehingga ketika saya menerima pertanyaan tersebut dalam bentuk yang betul-betul menantang, beberapa kali, saat berada di tempat yang minoritas Muslim, alhamdulillah saya diberi kesiapan untuk menjawab. 

"Bukan, saya berislam bukan sekadar karena warisan. 
Bahwa orang tua saya mendoktrin sedari saya kecil dengan mengajarkan jalan yang beliau-beliau yakini sebagai keyakinan yang benar, iya. Dan saya kira, disadari atau tidak, sudah menjadi naluri orang tua untuk mengajarkan apa yang dianggap sebagai hal-hal yang diyakini baik, melungsurkan norma, mewariskan nilai-nilai. 
Tapi lalu kita semua beranjak dewasa, bukan? Memiliki kapasitas untuk berpikir lebih kritis dan mendalam? Berkemampuan untuk mengevaluasi mana yang dan yang tidak? Bisa memutuskan apa yang akan diyakini dan apa yang akan ditinggalkan? 

Apakah nama bisa diganti setelah kita dewasa? Bisa. 
Apakah kewarganegaraan bisa ditukar? Bisa.
Apakah "agama" bisa dipilih? Bisa.

(Pada kondisi pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan, untuk mengikuti logika penanya saya menambahkan) Well, in fact I am accepted here because the jury decide that I have decent cognitive capability and mental health to pursue my PhD. So I guess it is valid for me to say that I am able to decide the very basic value that I choose to hold on to, right?  So, no.. my belief is not merely an inheritance that is passed from earlier generation.
Agama saya bukan sekedar warisan." :)

Yang kemudian jadi pertanyaan untuk saya dari poin ini, adalah bagaimana caranya mengajarkan pada anak untuk mereka meyakini suatu hal sebagai benar, tanpa menjatuhkan pihak lain yang memiliki keyakinan berbeda (yang memang kami anggap sebagai tidak benar). Hmm?


Belajar dengan guru

Berbagai arus reaksi terhadap tulisan ini juga mengingatkan saya pentingnya belajar (Islam) dengan bimbingan guru yang faqih. Banyaknya media pembelajaran; dari buku cetak dan berbagai sumber di dunia maya sama sekali tidak mengurangi (jika bukan menambah) pentingnya belajar dengan dampingan ustadz/ah.
Tanpa bimbingan, interpretasi terhadap isi suatu tulisan misalnya, sangat mungkin jadi beragam dan terbatas pada ilmu yang sudah diketahui saja.
Di samping itu, alasan mengapa tradisi Islam sangat menjaga dan mementingkan sanad atas sebuah ilmu, juga menjadi semakin terpahami. Sama halnya dengan tulisan ilmiah, rujukan dari mana suatu informasi/ilmu berasal sangat penting untuk menguji validitas sebuah informasi.

Sebagai contoh ekstrim, katakanlah saya dan Syaikh Yasir Qadhi sama-sama membaca kitab Sirah Nabawiyah yang disusuh Ibnu Hisyam. Syaikh YQ yang sudah ber-'ijazaat (mendapat ijin mengajar dan ilmunya bersanad sampai ke Rasulullah SAW), dan saya yang.. ah sudahlah. Bacaan bisa sama, tapi apa jadinya dunia ini kalau saya yang nggak tau apa-apa ini merasa punya ilmu yang sama dengan beliau yang sudah kesana kemari belajar didampingi guru yang keabsahan ilmunya sangat valid..
Tentu, ini bukan berarti menihilkan upaya belajar sendiri, sama sekali tidak. Belajar sendiri, membaca sendiri dan berpikir sendiri merupakan bagian penting dari sebuah proses pembelajaran; yang berbahaya adalah ketika merasa cukup dengan itu saja. 

Lalu pertanyaannya, Bu, sudah siap jadi pendamping pertama anak-anak dalam memahami ajaran Islam? Setidaknya di tahun-tahun pertamanya. Sudah siap membimbing anak-anak membangun pondasi keyakinan dan tauhid yang kokoh? (langsung menunduk dalam-dalam)


The comparison

Ini kegemesan pribadi aja sih, saya gemeeeesss saat menemukan pernyataan semacam:
"Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan"
atau yang suka ramai menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, terkait hilal;
"Orang lain udah pergi ke bulan, ini masih ributin bulannya keliatan atau enggak"

Cuy! (gemes maksimal)

Pernyataan seperti ini, setidaknya dari pandangan saya pribadi, menyiratkan bahwa ilmu sains dan rekayasa itulah yang sophisticated, sementara ilmu agama itu terbelakang. Scientist dan engineer itu keren banget, ahli agama itu kuno. Kenapa begitu?

Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, pernyataan seperti di atas membandingkan dua hal dari domain ilmu yang berbeda. Yang satu interdisciplinary science and engineering, satu lagi teologi Islam cabang ilmu fiqih (cmiiw). 
Perbedaan tentang hilal misalnya, adalah karena adanya beda interpretasi dari hadits terkait, yang merupakan subjek pembelajaran dari ilmu fiqih, dan adanya perbedaan pun diakui selama dasarnya kuat. Jadi bukan perihal bisa atau nggak bisa menghitung ya, beda ranah. 

Pernyataan di atas mungkin jadinya sama saja dengan bilang ke historian;
"Orang lain sudah memikirkan teknologi teleportasi, Anda masih belum bisa move on dari masa lalu?",
atau pada microbiologist;
"Tesla sudah mau menerbangkan kapal besar komersial ke luar angkasa, Anda masih mencari sesuatu yang tidak terlihat mata?".

Nggak begitu kan ya? Ranah ilmu yang berbeda ya sudah, biar ahlinya saja yang berbicara.

***

Demikianlah, beberapa hal yang menjadi refleksi pribadi dari tulisan berjudul "Warisan". Terima kasih ya Dik Afi, saya jadi dipaksa berpikir. 
Memikirkan apa yang harus saya lakukan sebagai pendidik pertama di rumah. 
Memikirkan nilai-nilai apa yang harus saya wariskan pada anak-anak.
:)

Wallahu a'lam bish shawab.




10 March 2017

Sepatu Putih

Sore itu Aa ada ngajar sampe menjelang maghrib, saya pulang duluan pake Gojek. Untung masih ada abang-abang yang operasi di tengah marak protes dari supir angkot dan supir taksi.

Ojek terhenti di lampu merah perempatan Jl. Cokelat, ada seorang ibu sama anaknya. Ibunya masih muda, usia sekitar pertengahan 20 tahunan; anaknya sekitar usia 6 tahunan. Mereka pemulung, anaknya bawa 1 karung hasil memulung yang hampir-hampir lebih besar dari badannya sendiri, sementara ibunya bawa 2 karung. Berat nggak ya? Saya bertanya sendiri dalam hati. Semoga enggak, sampah yang mereka kumpulkan adalah botol PET dari tempat-tempat sampah di pinggir jalan. 

Penampilan mereka lusuh, debu menempel sebadan-badan. Baju ibunya bolong di banyak tempat. Baju yang awalnya sepertinya berwarna kuning sudah jadi entah warna apa, terjemur matahari sekaligus ditempeli berbagai noda dan debu. Kapan terakhir kali bajunya diganti ya? Saya bertanya lagi dalam hati. Si Ibu nggak pakai alas kaki, telapak kakinya pecah-pecah besar sekali, terlihat jelas dari tempat saya duduk di ojek. Sudah berapa jauh hari ini berjalan, Bu?

Penampilan anaknya tidak jauh beda, badannya lusuh, bajunya kotor, tapi ada satu hal yang kontras sekali terlihat dari keseluruhan penampilannya; sepatu putih. Anak itu memakai alas kaki, sepatu putih yang terlihat pas di kakinya, tidak kedodoran. Sol-nya masih kokoh. Jahitannya masih rapi. Bukan sepatu baru yang putih mengilap, bukan. Jelas terlihat itu sepatu yang sudah dipakai beberapa lama. Tapi dari keseluruhan penampilan mereka, sepatu itulah yang paling mahal.

Dapat dari mana ya.. Memungut di jalan? 
Atau beli di tukang loak, mengumpulkan dari hasil memulung? Ibunya mengalah, merelakan uangnya dipakai untuk beli sepatu bagus yang pas di kaki anaknya, merelakan kakinya sendiri kering, perih dan pecah-pecah. 
Sepatu itu pasti kesayangan si anak, menemaninya berjalan jauh tanpa kakinya harus terluka.
Pikiran saya melayang-layang.

Lampu merah hampir berganti. Si anak berlari menyeberang jalan sambil tertawa-tawa riang, memanggil ibunya untuk cepat menyusul.

Lampu hijau menyala. Ojek kembali berjalan, mata saya basah sudah.


Ya Allah, jadikan anak tadi manusia yang shalih, penentram dan penyejuk bagi orang tuanya.
Jadikan ia penerang, cahaya bagi agama-Mu.
Aamiin.

10 February 2017

Note to self: Mandiri

Mungkin, memupuk kemandirian itu bukan dengan mengajarkan anak agar bisa detached dari orang tuanya; 
tapi dengan membentuk bonding yang kokoh, sedemikian kuat sehingga mereka merasa nyaman untuk kemudian bisa bereksplorasi sendiri. 

04 December 2016

Bias

(Please pardon the mixed language. It is how the brain naturally work for the moment. Cinta Laura, I feel you -__-)

Beberapa hari kemarin HP saya rusak, nggak bisa baca SIM card. Telepon, SMS, aplikasi-aplikasi yang perlu mobile data; nggak bisa dipake semuanya. Ketidaknormalan terdeteksi sejak sekitar seminggu sebelumnya, sinyal sering tiba-tiba ilang, terus beberapa menit kemudian muncul lagi. Awalnya nggak terlalu mengganggu karena hilang sinyalnya juga cuma sebentar, terus jadi jadi annoying karena makin sering, sampe akhirnya nggak bisa dipake blas. 

HP yang sekarang saya pakai adalah Xiaomi Note 3, btw. Baru setengah tahun pemakaian sejak dibeli. Beberapa bulan lalu, chargernya juga tiba-tiba rusak padahal pemakaiannya normal, jadinya harus beli baru lagi karena charger nggak ter-cover garansi. So yes, this second-time trouble kinda really upset me. 
No SIM card, tulisan yang ada di pojok kanan atas layar HP, di tempat yang seharusnya tertera nama service provider dan indikator kekuatan sinyal. Padahal SIM card-nya ya ada di tempatnya, nggak pernah dibuka-buka dan diganti-ganti selama sekian bulan terakhir. Setelah rangkaian kegiatan matiin HP-buka SIM card-pasang lagi-nyalain lagi HP tidak juga berhasil memperbaiki kondisi, I did the generic thing, tanya Google.
Baru aja saya ketik "undetected SIM.." (atau yang semacamnya, don't remember what I exactly typed), opsi auto fill teratas menyarankan "mi 3", tipe HP dari produsen yang sama, dengan spesifikasi mirip dengan yang saya pakai, hanya layarnya aja yang lebih kecil. Rrrr.. so this appeared to be a common problem for the brand and type. Kesel. Nyobain beberapa langkah yang ditawarkan sebagai solusi, nothing worked. Kesel kesel.

Untungnya di sini ada service center resmi Xiaomi, tapi jam operasionalnya agak sulit disesuaikan dengan jadwal kami. Mau bawa ke counter service HP yang biasa, agak nggak yakin juga. Agenda reparasi jadinya tertunda beberapa hari. In the meantime, Aa sempet beberapa kali nyaranin untuk coba ganti SIM card pake punya Aa. But I thought broken SIM was not really what happened. Selama belasan taun pake HP, rasanya nggak pernah juga harus ganti SIM gara-gara rusak.

Suatu sore, dianter Aa, akhirnya sempet juga ke service center yang resmi. Setelah saya jelaskan masalah yang terjadi dengan HP saya, plus nunjukin kartu garansi dan nota pembelian, staf service center menjelaskan bahwa mereka hanya bisa mereparasi kalau kerusakannya ada pada software, untuk masalah lain, harus dikirim langsung ke distributor. Kalau mau klaim garansi, saya juga harus langsung kirim sendiri ke collection center di Jakarta. Mereka nggak bisa bantu karena distributor mereka beda dengan distributor HP saya (yang dibeli di kota lain). Rrrrh. Beginilah kalo pake barang dengan brand relatif baru, servis purna jualnya nggak (/belum) memuaskan. Nggak jadi diservis, HP saya bawa lagi.
Di jalan pulang, kami lewat independent service center yang dari penampilan gedungnya cukup meyakinkan, ya udah coba aja lah. Jawaban stafnya "kita harus periksa dulu kemungkinan penyebabnya apa, 3-4 harian. Nggak bisa cepet Mbak, maaf. Habis itu baru bisa kasih estimasi biaya dan perbaikannya".
Astaga, keseeel. Kok ribet amat deh ini HP. Keluar dari tempat servis itu, I immediately made a mental note: 
Nggak. Akan. Pernah. Beli. Xiaomi. Lagi.
Never. Ever.

Melihat wajah manyun istrinya, Aa akhirnya turun tangan langsung. Bongkar HP dan cari info di internet. "Besok dicobain deh ya yang di YouTube", kata Aa.
"Eh, ambilin dulu HP saya deh, cobain tuker kartunya", saya ambil sambil malas. 
SIM card diganti. Kemudian, jreeeeng.. Langsung muncul tulisan TELKOMSEL. Sinyal penuh. Mobile data berjalan normal. Aa mendelik.
Ahahahahahaha..

"Kamu mah, harus banget ya ribut dulu."
"Iiih, kalo nggak riweuh dulu kan nggak seru Aaa."

Dan ledekan pun terus berlanjut. Hahaha.

***

Waktu ke pameran buku Big Bad Wolf di Surabaya kemaren, saya sama Aa berpencar, karena genre buku yang menjadi interest kami umumnya beda. Waktu akhirnya ketemu untuk mengompilasi hasil perburuan, sebagian besar buku ternyata accidentally (or not) sama-sama tentang topik yang senada; brain, human mind, thinking process. 
Dari beberapa buku yang sudah dan sedang dibaca, semuanya menunjukkan bahwa akal manusia adalah sesuatu yang dinamis, everchanging, berinteraksi dengan berbagai input informasi. Positifnya, manusia jadi bisa beradaptasi dan menyelaraskan dengan kondisi, yang jadi kunci utama pertahanan diri dan keberlanjutan spesies. Unconcious mind (pada otak yang normal) dirancang mampu untuk menangkap konteks dalam waktu saat singkat dan menyiapkan respon yang dinilai sesuai, effortlessly. But unfortunately (?), the positives come with a cost; human brain are very prone to bias, to cognitive errors. One of the causes is because it easily interacts with information from outside. Kata dosen statistik, ibarat kalo dalam uji ANOVA, ada interaksi berarti ada inkonsistensi.

Kisah handphone rusak di atas adalah salah satu contoh, cognitive error sederhana yang sangat common akibat suatu hal bernama priming (dari asal kata prime). I was blinded to see the very simple alternative solution, changing SIM card, because I had earlier been primed to the information I happened to find on Google: the trouble is common for my particular type of phone. To add, something related to the phone (i.e. its charger) has been broken before, so the problem's got to be with the phone and not anything else. Period. Yang mana ternyata bukan. This very simple error costed me couple of days of disability to connect with the people on my circle (e.g. my son couldn't call his grandparents) and lateness in accepting information/instruction at work, which could be pretty much crucial. It was nothing though, if compared to the cost of relying social judgment solely to cognitive reasoning. 
Bias terhadap gender, ras dan usia misalnya, adalah hal yang tertanam di bawah sadar (scientifically proven, btw) dan sulit untuk dikendalikan (tentunya, karena masuknya wilayah kerja unconscious mind). Bias gender dalam karir akademik misalnya, terutama sains dan engineering, seberapapun berusaha dihilangkan, nyatanya tetep aja signifikan. Imagine you're the person in charge to hire a head researcher on a topic in spacecraft engineering, there are 2 equally strong candidates with somewhat similar qualifications, but one of them named Bill and the other named Lala; which one would you hire? If you're like most of the people, we know what your quick answer is. Daniel Kahneman, seorang psikolog dan behavioral economist, dapet nobel untuk penelitiannya tentang common human error akibat heuristic dan bias. So yes, the evident is very clear. Human mind is really really prone to errors. Can we rely on our mind to take decision on fundamental matters, then? I worry.

Tapi lalu materi pengajian beberapa pekan lalu menampar saya. Dalam Islam, pemikiran manusia, terutama manusia biasa kebanyakan, rupanya ada di urutan ke EMPAT untuk pengambilan keputusan. Fiuh.
We know, urutan pertama adalah kitabullah, yang keasliannya dijaga dengan penjagaan langit, yang bahasanya hanya satu saja. Urutan kedua sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, yang metodologi preservation-nya begitu ketat lewat evaluasi sanad. Yang ketiga adalah ijtihad para 'ulama, yang dinilai memahami kedua dasar hukum yang lebih utama. 

Allahu akbar. Pemikiran manusia memang rupanya tidak dirancang untuk menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yang fundamental, yang terkait kepentingan banyak orang misalnya. Alhamdulilah..

***

Lalu jadi ingat kasus Ahok. Sejujurnya, dari sejak melihat sendiri rekaman videonya berbulan-bulan lalu sampai sekarang, saya belum mengerti apakah tindakannya perlu penanganan hukum (karena memang bukan orang hukum sih, jadi nggak ngerti) dan sampai menimbulkan gerakan sebesar yang terjadi sekarang? 

But then, apalah artinya pemikiran remah rengginang bernama Vuterlanik ini, kalau kumpulan guru dan 'ulama sudah berijtihad dan memutuskan untuk menggerakkan umat. So yes, saya (harus) mendukung kedua aksi damai yang telah terselenggara. Dan masih merasa haru sekali melihat jutaan muslim turun ke jalan, (sebagian dari mereka mungkin perlu bertarung untuk mengalahkan ego dan pemikiran pribadi) dan manut sama 'ulama, sumber pengambilan hukum yang ketiga.

Wallahu a'lam bish shawab.


(Eh, jadi yang hadir kemarin tujuh ribu apa tujuh juta? 
Astagaa.. Rasanya common cognitive error sekalipun harusnya ga termasuk hilangnya kemampuan dasar aritmetika :P)