23 May 2017

Warisan; sebuah refleksi pribadi

Iya, ini terkait tulisan seorang pemudi kritis yang menurut saya pribadi level kedewasaan, kekritisan dan concern-nya terhadap isu sosial, jauh di atas rata-rata remaja seusianya :). Semoga Allah menjaga dan membimbingnya selalu.
Terhadap konten tulisannya sendiri, ide utamanya saya rasa tentang perbedaan yang jangan sampai menjadi sumber perpecahan, tentu saya setujui. Tapi beberapa poin yang disampaikan sangat tidak sejalan dengan yang saya pahami. Anyway, saya bukan 'ulama, rasanya tidak berkapasitas mengupas isinya. Yang menggelitik saya adalah betapa beragamnya komentar yang ditujukan terhadap tulisan ini, juga terhadap penulisnya. Berikut beberapa hal yang menjadi refleksi pribadi setelah menyimak tulisan tersebut dan berbagai reaksinya.

Tentang "agama adalah warisan"

Sebatas yang saya pahami, poin inilah yang menjadi bahan perdebatan utama. Saya kaget melihat reaksi orang-orang yang begitu kaget dengan diangkatnya isu ini (jadinya kaget-ception), karena tadinya saya kira ini sudah menjadi "tantangan" standar yang diajukan pada orang yang memilih suatu keyakinan (terutama Islam).  
Saya ingat, pertanyaan ini pertama kali saya terima waktu SMP, dari seorang guru ngaji. Beberapa kali saya terima lagi sewaktu SMA, lagi-lagi dari pendamping mengaji. Tentunya bukan dalam konteks menguji; setelah diberi kesempatan untuk berpikir, saya dan teman-teman diberi arahan mengapa Islam yang kami anut bukan warisan, diberi tempat untuk bertanya sekiranya ada hal yang belum kami mengerti. Maka saya kira pernyataan ini sudah menjadi semacam terintegrasi dalam kurikulum pembelajaran agama. Sehingga ketika saya menerima pertanyaan tersebut dalam bentuk yang betul-betul menantang, beberapa kali, saat berada di tempat yang minoritas Muslim, alhamdulillah saya diberi kesiapan untuk menjawab. 

"Bukan, saya berislam bukan sekadar karena warisan. 
Bahwa orang tua saya mendoktrin sedari saya kecil dengan mengajarkan jalan yang beliau-beliau yakini sebagai keyakinan yang benar, iya. Dan saya kira, disadari atau tidak, sudah menjadi naluri orang tua untuk mengajarkan apa yang dianggap sebagai hal-hal yang diyakini baik, melungsurkan norma, mewariskan nilai-nilai. 
Tapi lalu kita semua beranjak dewasa, bukan? Memiliki kapasitas untuk berpikir lebih kritis dan mendalam? Berkemampuan untuk mengevaluasi mana yang dan yang tidak? Bisa memutuskan apa yang akan diyakini dan apa yang akan ditinggalkan? 

Apakah nama bisa diganti setelah kita dewasa? Bisa. 
Apakah kewarganegaraan bisa ditukar? Bisa.
Apakah "agama" bisa dipilih? Bisa.

(Pada kondisi pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan, untuk mengikuti logika penanya saya menambahkan) Well, in fact I am accepted here because the jury decide that I have decent cognitive capability and mental health to pursue my PhD. So I guess it is valid for me to say that I am able to decide the very basic value that I choose to hold on to, right?  So, no.. my belief is not merely an inheritance that is passed from earlier generation.
Agama saya bukan sekedar warisan." :)

Yang kemudian jadi pertanyaan untuk saya dari poin ini, adalah bagaimana caranya mengajarkan pada anak untuk mereka meyakini suatu hal sebagai benar, tanpa menjatuhkan pihak lain yang memiliki keyakinan berbeda (yang memang kami anggap sebagai tidak benar). Hmm?


Belajar dengan guru

Berbagai arus reaksi terhadap tulisan ini juga mengingatkan saya pentingnya belajar (Islam) dengan bimbingan guru yang faqih. Banyaknya media pembelajaran; dari buku cetak dan berbagai sumber di dunia maya sama sekali tidak mengurangi (jika bukan menambah) pentingnya belajar dengan dampingan ustadz/ah.
Tanpa bimbingan, interpretasi terhadap isi suatu tulisan misalnya, sangat mungkin jadi beragam dan terbatas pada ilmu yang sudah diketahui saja.
Di samping itu, alasan mengapa tradisi Islam sangat menjaga dan mementingkan sanad atas sebuah ilmu, juga menjadi semakin terpahami. Sama halnya dengan tulisan ilmiah, rujukan dari mana suatu informasi/ilmu berasal sangat penting untuk menguji validitas sebuah informasi.

Sebagai contoh ekstrim, katakanlah saya dan Syaikh Yasir Qadhi sama-sama membaca kitab Sirah Nabawiyah yang disusuh Ibnu Hisyam. Syaikh YQ yang sudah ber-'ijazaat (mendapat ijin mengajar dan ilmunya bersanad sampai ke Rasulullah SAW), dan saya yang.. ah sudahlah. Bacaan bisa sama, tapi apa jadinya dunia ini kalau saya yang nggak tau apa-apa ini merasa punya ilmu yang sama dengan beliau yang sudah kesana kemari belajar didampingi guru yang keabsahan ilmunya sangat valid..
Tentu, ini bukan berarti menihilkan upaya belajar sendiri, sama sekali tidak. Belajar sendiri, membaca sendiri dan berpikir sendiri merupakan bagian penting dari sebuah proses pembelajaran; yang berbahaya adalah ketika merasa cukup dengan itu saja. 

Lalu pertanyaannya, Bu, sudah siap jadi pendamping pertama anak-anak dalam memahami ajaran Islam? Setidaknya di tahun-tahun pertamanya. Sudah siap membimbing anak-anak membangun pondasi keyakinan dan tauhid yang kokoh? (langsung menunduk dalam-dalam)


The comparison

Ini kegemesan pribadi aja sih, saya gemeeeesss saat menemukan pernyataan semacam:
"Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan"
atau yang suka ramai menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, terkait hilal;
"Orang lain udah pergi ke bulan, ini masih ributin bulannya keliatan atau enggak"

Cuy! (gemes maksimal)

Pernyataan seperti ini, setidaknya dari pandangan saya pribadi, menyiratkan bahwa ilmu sains dan rekayasa itulah yang sophisticated, sementara ilmu agama itu terbelakang. Scientist dan engineer itu keren banget, ahli agama itu kuno. Kenapa begitu?

Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, pernyataan seperti di atas membandingkan dua hal dari domain ilmu yang berbeda. Yang satu interdisciplinary science and engineering, satu lagi teologi Islam cabang ilmu fiqih (cmiiw). 
Perbedaan tentang hilal misalnya, adalah karena adanya beda interpretasi dari hadits terkait, yang merupakan subjek pembelajaran dari ilmu fiqih, dan adanya perbedaan pun diakui selama dasarnya kuat. Jadi bukan perihal bisa atau nggak bisa menghitung ya, beda ranah. 

Pernyataan di atas mungkin jadinya sama saja dengan bilang ke historian;
"Orang lain sudah memikirkan teknologi teleportasi, Anda masih belum bisa move on dari masa lalu?",
atau pada microbiologist;
"Tesla sudah mau menerbangkan kapal besar komersial ke luar angkasa, Anda masih mencari sesuatu yang tidak terlihat mata?".

Nggak begitu kan ya? Ranah ilmu yang berbeda ya sudah, biar ahlinya saja yang berbicara.

***

Demikianlah, beberapa hal yang menjadi refleksi pribadi dari tulisan berjudul "Warisan". Terima kasih ya Dik Afi, saya jadi dipaksa berpikir. 
Memikirkan apa yang harus saya lakukan sebagai pendidik pertama di rumah. 
Memikirkan nilai-nilai apa yang harus saya wariskan pada anak-anak.
:)

Wallahu a'lam bish shawab.




No comments: