10 March 2017

Sepatu Putih

Sore itu Aa ada ngajar sampe menjelang maghrib, saya pulang duluan pake Gojek. Untung masih ada abang-abang yang operasi di tengah marak protes dari supir angkot dan supir taksi.

Ojek terhenti di lampu merah perempatan Jl. Cokelat, ada seorang ibu sama anaknya. Ibunya masih muda, usia sekitar pertengahan 20 tahunan; anaknya sekitar usia 6 tahunan. Mereka pemulung, anaknya bawa 1 karung hasil memulung yang hampir-hampir lebih besar dari badannya sendiri, sementara ibunya bawa 2 karung. Berat nggak ya? Saya bertanya sendiri dalam hati. Semoga enggak, sampah yang mereka kumpulkan adalah botol PET dari tempat-tempat sampah di pinggir jalan. 

Penampilan mereka lusuh, debu menempel sebadan-badan. Baju ibunya bolong di banyak tempat. Baju yang awalnya sepertinya berwarna kuning sudah jadi entah warna apa, terjemur matahari sekaligus ditempeli berbagai noda dan debu. Kapan terakhir kali bajunya diganti ya? Saya bertanya lagi dalam hati. Si Ibu nggak pakai alas kaki, telapak kakinya pecah-pecah besar sekali, terlihat jelas dari tempat saya duduk di ojek. Sudah berapa jauh hari ini berjalan, Bu?

Penampilan anaknya tidak jauh beda, badannya lusuh, bajunya kotor, tapi ada satu hal yang kontras sekali terlihat dari keseluruhan penampilannya; sepatu putih. Anak itu memakai alas kaki, sepatu putih yang terlihat pas di kakinya, tidak kedodoran. Sol-nya masih kokoh. Jahitannya masih rapi. Bukan sepatu baru yang putih mengilap, bukan. Jelas terlihat itu sepatu yang sudah dipakai beberapa lama. Tapi dari keseluruhan penampilan mereka, sepatu itulah yang paling mahal.

Dapat dari mana ya.. Memungut di jalan? 
Atau beli di tukang loak, mengumpulkan dari hasil memulung? Ibunya mengalah, merelakan uangnya dipakai untuk beli sepatu bagus yang pas di kaki anaknya, merelakan kakinya sendiri kering, perih dan pecah-pecah. 
Sepatu itu pasti kesayangan si anak, menemaninya berjalan jauh tanpa kakinya harus terluka.
Pikiran saya melayang-layang.

Lampu merah hampir berganti. Si anak berlari menyeberang jalan sambil tertawa-tawa riang, memanggil ibunya untuk cepat menyusul.

Lampu hijau menyala. Ojek kembali berjalan, mata saya basah sudah.


Ya Allah, jadikan anak tadi manusia yang shalih, penentram dan penyejuk bagi orang tuanya.
Jadikan ia penerang, cahaya bagi agama-Mu.
Aamiin.

1 comment:

Fanny Rosdiawan said...

aamiiin ya robbal'alamiin