13 October 2015

Sawit, Asap, Boikot

"Itu pohon apa? Kenapa sama semua?", tanya saya pada Aa pagi itu, dari atas pesawat yang sebentar lagi mendarat di Pekanbaru. Hari itu, hari kedua setelah akad nikah kami. Sementara pasangan lain umumnya pergi untuk honeymoon, saya diculik Aa ke tengah hutan yang panas di Riau. Survey lapangan untuk keperluan penelitian. 
Mendengar pertanyaan saya, Aa tertawa lalu menjawab, "Itu pohon sawit. Di Riau kebun sawitnya ya begini, luas banget". Sejauh mata memandang dari atas pesawat pagi itu, memang hanya kebun sawit yang terlihat. 

Lima tahun menikah, lima tahun pula saya hidup dengan (todongan untuk membaca dan proofreading) berbagai literatur dan manuskrip tentang sawit. Topik penelitian Aa dari sarjana sampai doktoral memang terkait hutan sawit, dari pemetaan lahan sampai analisa sosial ekonominya. Ini hobi apa gimana sih, A?

*** 

Minggu lalu, pesawat yang membawa kami sekeluarga baru saja lepas landas. Dari Kuala Lumpur menuju Surabaya. Saya melihat ke luar jendela dan tidak mendapati selain warna putih agak abu, pekat. Asap. 

Kabut asap terjadi setiap tahun. Emisinya yang terus menerus sampai terbagikan ke negara-negara tetangga. Sesungguhnya saya enggan percaya kalau bencana yang menyedihkan sekali ini hasil perbuatan tangan manusia yang disengaja. Tapi kalau alami, kenapa selalu berulang setiap tahun? Kejahatan pembakaran hutan liar ini merampas hak asasi yang paling dasar, bernapas. Tanpa makan dan minum, manusia masih bisa bertahan sampai hitungan hari. Tanpa bernapas, rekor dunianya adalah sekitar 22 menit. Saya, 1 menit saja megap-megap. How can you live without breathing??
Kalau kebakaran hutan yang jadi sumber bencana kabut asap itu betul-betul perbuatan manusia yang disengaja, pelakunya sepantasnya di-exile saja. Ke Mars. Tanpa tabung oksigen. See how long he could resist. 

Kabut asap seringkali dikaitkan dengan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan hutan sawit. Masih dengan keengganan untuk percaya bahwa bencana ini kejahatan yang disengaja, saya bertanya pada yang lebih ahli di bidang ini, Dr. Fatwa Ramdani. Alias Aa. 
Menurutnya, kabut asap ini most likely (and sadly) memang terkait dengan hutan sawit. Dan untuk level pembakaran dengan emisi asap separah yang terjadi sampai saat ini, adalah sulit (if not impossible) untuk disebabkan oleh pembakaran liar skala individu. An organized burning would be a more reasonable explanation. Sigh. Sudahlah, bukan kapasitas saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang kemungkinan konspirasi entah apa di baliknya. 

*** 

"As a response to this haze problem, I figured that there are some kind of movements to boycott products that contains palm oil. Do you think it'd be a wise solution?", saya bertanya.
"I'm afraid not. Can you guess why?"
Ealah, malah balik ditanya. Tapi saya jadi ingat, saya pun pernah skeptis dengan segala produk yang mengandung minyak sawit. Beberapa tahun lalu waktu masih tinggal di Sendai, begitu menemukan produk yang bertuliskan パームオイル di komposisinya, biasanya saya tunjukkan sama Aa sambil bilang, "Hih, palm oil nih". 
Memang minyak sawit salah apa sampai saya sinis begitu? Hmm. Setelah saya (terpaksa) baca dan belajar agak lebih banyak, kesimpulan yang saya dapati sejauh ini adalah bahwa minyak sawitnya sendiri adalah "innocent". Minyak sawit jelas bukan bahan kimia beracun atau berbahaya. Manfaatnya jelas banyak, terbukti dari penggunaannya sebagai bahan baku dan bahan pelengkap berbagai macam produk, banyak di antaranya bisa ditemukan dengan mudah di warung atau supermarket dan kita pakai sehari-hari. Pemanfaatannya sebagai biofuel jelas memiliki potensi sustainability yang lebih tinggi dibanding fossil fuel. 
The problem probably lies in the management. Terutama manajemen kalbu para stakeholder industri sawit biar nggak serakah. Sigh. 

Lalu, apakah boikot produk sawit merupakan solusi untuk permasalahan kabut asap? 

Saya nggak begitu mengerti dengan hasil diharapkan dari boikot. Apakah sebagai aksi protes saja? Atau memang diharapkan bisa menawarkan solusi? Dengan mengurangi demand minyak sawit secara massive?

Sebagai upaya pengelolaan hutan dan proses produksi sawit di level internasional, sebuah gerakan telah digagas di tahun 2003. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berpusat di Kuala Lumpur menghimpun semua stakeholder yang terlibat di tiap mata rantai industri sawit. Salah satu aktivitas dari organisasi ini adalah penerbitan sertifikat untuk minyak sawit yang diproduksi sesuai standar RSPO. Kriteria standarnya bisa dicari lewat search engine terdekat, tapi produsen yang membuka lahan dengan cara pembakaran tentu saja tidak akan lolos sertifikasi. Saat ini, 20% produksi minyak sawit global sudah tersertifikasi RSPO. Angka ini tentu bukan persentase yang ignorable. Boikot secara acak bisa malah berdampak pada stakeholder yang sudah RSPO-certified, yang sudah mau repot-repot berupaya agar proses yang dijalankannya sustainable, termasuk menghindari pembakaran lahan. 

Lalu, artikel di suatu surat kabar beberapa hari lalu memberitakan turunnya harga sawit dan karet. Yang jadi korban kabut asap di Sumatera dan Kalimantan itu, tidak sedikit yang juga merupakan petani atau pemilik kebun sawit skala kecil, yang jujur, yang sudah berusaha mengelola kebunnya agar ramah terhadap alam. Petani dan pengelola kebun skala kecil seperti ini tentunya lebih terimbas dengan jatuhnya harga suatu komoditas. Sudah terkena bencana kabut asap, kondisi ekonominya terancam juga. 

Jadi apakah boikot produk sawit merupakan solusi efektif untuk permasalahan kabut asap?
Bisa jadi. Dengan catatan produk yang diboikot adalah yang diproduksi oleh perusahaan yang membuka lahan dengan membakar hutan. 

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi bencana kabut asap? Hmm. Kalau saya tahu, alih-alih menulis posting ini, mungkin saya sudah sibuk di headquarter RSPO dan diangkat jadi komisaris (--;). In the meantime, sebagai tindakan kuratif, ada banyak lembaga terpercaya yang membantu menyalurkan donasi untuk korban yang terimbas. Edukasi orang di sekeliling yang terjangkau oleh kita, tentang bahayanya kabut asap, agar tidak terkena dampak negatifnya, juga yang lebih penting agar tidak ikut jadi penyebab meluasnya kabut asap. Diversifikasi produk yang dikonsumsi sehari-hari in individual/household/whatever scale achievable is also a wise step, I suppose (updated 17 Oct 2015). Hari ini pakai minyak sawit, lalu besoknya diseling minyak canola misalnya. Lalu, tentu saja, doa. 

Semoga hujan segera turun, mengendapkan kandungan partikulat yang sudah pekat, membersihkan udara di seluruh wilayah yang terdampak. Semoga sahabat, saudara dan semua masyarakat di sana sehat selalu. Our thoughts and prayers are with you. 

4 comments:

Ayoe-Collections said...

Amin.. :)
-ayu-

Unknown said...

hai mbak, baru blogwalking nemu ini deh.. salam kenal yaa
btw, wkt kecil saya tinggal di pekanbaru ~ sampe skrg pun keluarga besar saya masih tinggal disana. dan tragedi asap ini memang udah dari kecil sy alami tapi memang belum selama dan setebal sekarang. isu buat menutup atau memboikot perusahaan yang membakar lahan pun ga sekali dua denger ~ tiap terjadi kabut semua org demo tapi kalo udah selesai ya udaaah ilang aja lupa. miris yaa
saya setuju sih untuk ga pake produk turunan sawit - sy juga sudah melakukannya sejak lama. tapi memang produknya sudah tersebar massal, dan produk penggantinya (minyak kelapa, sabun homemade, dll) harganya cukup mahal. cuma segelintir orang yang sadar - tapi semoga dengan semakin kenceng kampanye-nya banyak yg sadar juga

Vuterlanik said...

Aamiin :D

Vuterlanik said...

Halo Mbak Tseela, salam kenal :)
Aduuh, gimana sekarang kondisinya di sana? Udah mulai hilang asapnya? Di jawa kan udah mulai ujan ya, semoga sehat selalu keluarganya dan semua yang di sana.

Diversifikasi penggunaan bahan baku memang salah satu jalan buat ngurangin resiko monopoli lahan ya‥ semoga semua stakeholder sawit bisa lebih bijak soal pembukaan lahannya, sigh.

Mudah2an kabut asapnya cepet hilang dan nggak balik2 lagi. Aamiin :)