05 July 2013

Petualangan Lima Hari

Catatan ini sudah ditulis lama sekali, mulai ditulis dari sejak di pesawat pulang dari New Orleans, dan selesai nggak lama setelahnya. Untuk suatu alasan yang saya sudah lupa, catatan ini lama tersimpan di draft. Dan karena alasannya sudah lupa, jadi saya publish saja hahaha. Semoga ada manfaatnya. 

***

Lima jam menuju Narita, setelah "petualangan" lima hari di New Orleans. Petualangannya pakai tanda kutip, karena sebetulnya selama di sana hanya bolak-balik di sekitar hotel dan tempat konferensi, dan petualangannya lebih banyak terjadi dalam diri sendiri.

Jadi gimana perjalanan solo perdananya berlangsung?

Keberangkatan ke New Orleans kali ini adalah untuk menghadiri konferensi ACS. Sebetulnya, sebelumnya saya minta ikut konferensi tentang energi terbarukan yang diselenggarakan di Spanyol (yang sebetulnya sih ngga terlalu besar acaranya, dan nggak yakin akan dapet feedback terkait riset, tapi ini Spanyol! :P). Sempat dilema antara ingin jalan-jalan dan ingin belajar lebih banyak tentang bidang riset, akhirnya keinginan jalan-jalan mengalah, demi kemajuan ilmu pengetahuan (tsah). Saya harus berangkat sediri, karena waktu konferensi bersamaan dengan awal semester, waktunya Sensei super sibuk. Sewaktu Sensei tanya, betulan saya nggak apa-apa berangkat sendiri, saya jawab iya dengan santai. Saya kira semua tempat di Amerika paling kurang lebih mirip dengan San Diego.

Pelajaran nomor satu: jangan sok tahu :P.

Singkat cerita selesailah semua prosedur registrasi dan persiapan presentasi. Suatu hari, saya mendapat e-mail dari panitia acara, tentang "tips keamanan" selama berada di New Orleans. Isinya kurang lebih tentang himbauan untuk nggak memamerkan perhiasan dan/atau gadget mahal, dan untuk travel bersama grup sewaktu jalan-jalan. Saya merasa kurang nyaman dengan e-mail ini, karena sejauh ini saya ikut konferensi, baru kali ini sampai dapat himbauan semacam itu dari panitia acara (ya memang saya belum pernah juga sih ikut konferensi di Cuba gitu misalnya).

Berangkatlah saya dengan PD-nya, dibekali satu pesan dari Sensei untuk selalu berhati-hati. "They have guns!", katanya, kemudian tertawa -___-. Setelah perjalanan hampir 40 jam dari Sendai, akhirnya saya sampai di New Orleans, untuk kemudian menemukan bahwa citarasa New Orleans ini beda banget dengan California. Suasana pusat perkantorannya mirip sama Jalan Merdeka di Bandung, sementara pusat wisatanya terasa mirip Garut. New Orleans ini memang dulunya dikuasai orang Prancis, jadi bangunannya kebanyakan tua dan bergaya Eropa. Lingkungannya, bisa saya katakan, agak kotor dan kumuh. Gedung-gedungnya banyak yang terlihat usang, entah karena badai Katrina atau memang kurang terawat. Pemandangan grafiti (lebih pas disebut coret-coretan pakai Pylox sih :P) juga banyak, persis seperti di bawah jalan layang Pasopati di Bandung. Banyaknya pemandangan anak muda nongkrong di pinggir jalan bikin suasana kota ini semakin terasa nggak nyaman. Kemudian berkonsultasilah saya sama Mbak Google, tentang keamanan kota ini untuk muslimah berjilbab. Jawaban yang saya temukan cukup bikin shock, ternyata kota ini termasuk tempat yang paling nggak aman, dengan angka kriminal yang tinggi. Pantas saja panitia acara sampai mengirim himbauan keamanan untuk peserta konferensi, menyarankan untuk selalu sama-sama dengan grup kalau jalan-jalan. Lha ya piye iki, grup saya isinya cuma saya dan Juned (si kamera).

Pelajaran nomor dua: you see what you perceive.

Hotel yang saya tempati, lokasinya hanya satu blok dari Bourbon St.  Bourbon St. ini, kata Mbak Dwi yang sudah 2 tahun tinggal di New Orleans, adalah tempat bebas untuk bermaksiat; mau mabuk-mabukan, mau pakai baju kayak Tarzan, semuanya boleh. Mungkin semacam Moulin Rouge yang di Paris ya. Jadinya di sekitar hotel ya banyak yang begitu-begitu juga. Jarak dari hotel saya ke shuttle bus yang disediakan panitia untuk menuju tempat konferensi sebetulnya sangat dekat, mungkin sekitar 300 meter, jalan kaki nggak sampai 5 menit juga nyampe. Tapi berbekal "pengetahuan" tentang angka kriminal yang tinggi, ditambah banyaknya bar dan restoran remang-remang di sekitar hotel, jadilah jarak pendek itu saja saya tempuh penuh kewaspadaan. Di hari pertama, presentasi saya baru selesai pukul 10 malam. Sepanjang pagi dan siang saya berdoa biar diberi keselamatan di jalan pulang menuju hotel. Akhirnya, waktu malam itu saya ketemu peserta lain yang menuju hotel yang sama, mau sujud syukur rasanya :D. Biarlah lebay, tapi waktu itu terasa sekali cuma Allah yang Maha Penjaga. Hari kedua sudah mulai lebih PD, hanya di bagian perempatan aja saya lebih berhati-hati, karena biasanya ramai sama pemuda yang suka nongkrong. Eh ternyata, betulan diteriakin seorang bapak-bapak waktu saya lewat di perempatan itu, sepertinya gara-gara saya pakai hijab. Saya sok-sok santai dengan tetep kalem berjalan, hahaha, padahal kalau itu bapak ngejar pastilah saya ngacir :P. Sore harinya, selesai presentasi hari kedua, saya jalan-jalan ke pinggir Sungai Mississippi. Kan harusnya menyenangkan ya? Tapi di perjalanan kembali menuju tempat konferensi, ada bapak-bapak homeless yang mengikuti dari belakang :P. Segera aja saya cari orang-orang yang sedang jalan berkelompok.

Dua hari dengan level kewaspadaan tingkat tinggi sungguh-sungguh bikin capek, sampai di hotel rasanya lemes sekali. Saya tahu, terlalu fokus sama waspada, bikin saya nggak bisa menikmati keberadaan di sana. Sampai malam itu, saya sedang blogwalking ketika menemukan tulisan ini di blognya Tia: "backpacker sejati meleburkan diri dengan masyarakat setempat". Saya bukan backpacker sih, koper saya aja gede banget. Bukan juga traveller kelas kakap, cuma suka aja mengunjungi tempat baru. Yang menggugah dari tulisan itu adalah mengingatkan saya, bahwa orang-orang lokal di sini juga manusia, yang sama-sama dalam genggaman-Nya. Penampilan saya memang jauh berbeda, muka Asia, badan kecil, berhijab pula. Tapi setiap kita kan orang lokal di bumi-Nya :). Berbekal pemahaman ini, besok-besoknya saya nggak langsung jadi berani juga sih, nggak tiba-tiba nyamperin gerombolan geng pinggir jalan terus nyapa "Hey man, how're ya' doin?", gitu. Tapi setidaknya saya lebih berani tengok-tengok kiri kanan selagi jalan, juga mulai bisa jalan sambil senyum dan nggak melulu pasang muka sok digalakin (yang biasanya gagal).

Hari keempat saya habiskan sebagian di tempat konferensi, dan sebagiannya lagi jalan-jalan sama Mbak Farah (peserta konferensi asal Indonesia juga) dan anak-anaknya ke Audubon aquarium, terus makan di restoran halal setempat yang porsinya guedeee sekali. Sempat juga dengan pede-nya masuk ke The Shops at Canal Place mau cari oleh-oleh, untuk keluar lagi dengan tangan kosong sambil nyengir sendiri, karena toko-toko di dalamnya ternyata sebangsa Gucci. Alhamdulillah berlangsung aman tenteram tanpa gangguan. 
Mengingat bahwa keesokan harinya adalah hari terakhir saya ada di New Orleans, dan mengingat ada titipan permen inhaler dan sereal dari Aa dan Uni sang tetangga; saya cari supermarket terdekat lewat Google. Walmart paling dekat ternyata nggak terjangkau jalan kaki, harus naik taksi. Tapi ya nggak apa-apa lah, cuma sekalinya ini. Saya klik lagi info tentang Walmart di lokasi yang dimaksud untuk melihat review tempatnya, ternyata ada testimoni bahwa di parkiran Walmart yang dimaksud suka terjadi violence semacam perampokan. Astaga. Batal sudah rencana belanja :D. 

Hari kelima, pagi sampai siang harinya New Orleans mendung lalu diguyur hujan lebat, beberapa daerah di sekitar malah sampai dilewati tornado. Sebelum hujan menderas, saya sempatkan kembali ke tempat konferensi untuk ambil sertifikat, dan ke pusat perbelanjaan yang dekat-dekat untuk menggenapkan perbendaharaan oleh-oleh. Sempat terguyur tornado juga, tapi alhamdulillah hujannya nggak lama-lama, sore hari cuacanya cerah lagi. Demi menggenapkan tradisi jalan-jalan dan foto-foto sendirian, saya memantapkan hati untuk berangkat sore itu. Tujuannya nggak jauh, ke Mercedes Benz Superdome, hanya sekitar 15 menit jalan kaki dari hotel. Untuk jaga-jaga, barang berharga saya tinggal dan ditaruh di tempat aman di hotel. Hanya kamera dan uang secukupnya yang saya bawa. Beberapa blok dari hotel, jalan masih ramai. Tapi makin jauh makin sepi, dan orang-orang yang dilewati terlihat agak menakutkan. Oh baiklah, perjalanan dicukupkan saja, nggak perlu sampai ke Superdome :P.
Malam menjelang, tinggal beberapa jam menuju penerbangan kembali ke Jepang. Perjalanan di New Orleans alhamdulillah ditutup dengan menyenangkan, saya dijemput Mbak Dwi sekeluarga di hotel, untuk jalan-jalan di wilayah French Quarter dan mencoba makanan khas kota ini di Cafe Du Monde. Tanpa ini, yang saya ingat tentang New Orleans mungkin hanya perjalanan yang menegangkan. Dengan keramahan Mbak Dwi, perjalanan ini terhiasi sepotong gambar keluarga yang memberi kehangatan :).

Pelajaran nomor tiga: lessons do not always feels nice, but they are always precious.
Perjalanan solo ini, semakin mengenalkan saya pada diri sendiri, terutama pada banyaknya kekurangan yang harus saya perbaiki. Dua puluh lima tahun ini, hidup saya disibukkan dengan berbagai persepsi dan ekspektasi. Saya sadar, ketidaknyamanan saya selama di sana mungkin sebagian besar karena kewaspadaan yang terlalu, I just couldn't help it yet
New Orleans, adalah tentang ekspektasi yang tidak terpenuhi, dan tentang persepsi yang membelenggu dan menakut-nakuti. Di perjalanan pulang ini, satu hal saya pelajari tentang kenyamanan diri. Ia bersumber dari penerimaan, berawal dari rasa cukup dan kesyukuran :).

Thank you, New Orleans. You are a journey of a lifetime.


2 comments:

mecaonic said...

aduh ya ampun, paragraf trahirnya maknyes skali neng utii.. :)

Batari Saraswati said...

Membayangkan Putri nyamperin gerombolan geng pinggir jalan terus nyapa "Hey man, how're ya' doin?"

Hahahaha Puuuut.