13 November 2019

Ruang untuk Emosi (dan Poligami?)

"Jangan marah pada mereka yang marah karena cinta", begitu judul keping tulisan dari buku "Sunnah Sedirham Surga" yang kesannya begitu mendalam untuk saya. Buku ini ditulis oleh Ustadz Salim A. Fillah. Keping ini mengisahkan dua peristiwa, hijrahnya Siti Hajar dan bayi Ismail as. yang dipicu oleh kecemburuan Siti Sarah; dan peristiwa A'isyah ra. melempar piring hidangan di hadapan tamunya Rasulullah SAW.

Kisah-kisah tersebut pernah saya baca/dengar sebelumnya, masing-masing kisah di waktu dan kesempatan yang terpisah. Namun, pertanyaan yang sama terlintas di benak; "kan.. istri nabi. Kok gitu?"

Di buku tersebut , Ustadz Salim menceritakan juga detil bagian yang baru saya ketahui.
Kecemburuan Siti Sarah begitu besar, yang termanifestasikan menjadi kemarahan, hingga pada tahap yang membahayakan. Salah satunya misalnya, Siti Sarah bersumpah akan memotong tiga bagian tubuh Siti Hajar.
Pada kisah A'isyah, yang terjadi adalah Rasulullah saw. kedatangan tamu ketika beliau sedang giliran berada di rumahnya. Menjamu tamu Rasulullah saw. adalah sebuah privilege, maka ketika ia mengetahui ada istri lain yang menyiapkan dan menyajikan makanan jamuan, marahlah A'isyah ra. hingga melempar pinggan, langsung di hadapan mereka yang sedang bertamu.

Lintasan di benak saya berulang, dan malah bertambah. "Kan.. istri nabi. Kok gitu?". Bukan pula sembarang nabi, tapi dua manusia yang paling Allah kasihi sepanjang masa. Yang satu bergelar bapak para nabi sekaligus khaliilurrahman, yang lainnya adalah manusia yang pujian atas akhlaqnya bertaburan disebutkan dalam Al-Qur'an.

Apakah Nabi Ibrahim as. merasakan kemarahan di hatinya? Wallahu a'lam. Yang pasti, selanjutnya Allah memerintahkan beliau membawa Siti Hajar dan Ismail as. yang masih bayi untuk hijrah ke tengah padang pasir, tak berpenghuni, tanpa sumber air.
Apakah Rasulullah saw. merasakan kemarahan di hatinya? Wallahu a'alam. Yang pasti, diceritakan dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah saw. mengumpulkan serpihan piring yang pecah, juga makanan yang jatuh, sambil berkata "ghaarat ummukum", "ibu kalian sedang cemburu".

Sejauh saya mencari, tidak ada hukuman untuk Siti Sarah, mohon koreksinya bila kurang tepat. Pun tidak tersebut kalimat hardikan untuk A'isyah ra. Kenapa? Apakah tidak perlu didisiplinkan?

Lalu saya tercenung pada judul yang dipilih, "jangan marah pada mereka yang marah karena cinta". Melalui kedua kisah agung ini, diteladankan bahwa dalam Islam, panduan hidup yang sempurna untuk fitrah manusia, emosi diterima. Tidak melulu dibenarkan, tapi diterima. Teladan ini mengakui bahwa emosi adalah bagian dari diri manusia, terlebih pada perempuan. 

Ingatan saya terbang pada berbagai teori tentang mendidik anak, juga tentang berbagai teknik self-healing. Apa poin esensial yang disebutkan pada kedua topik yang sama-sama membahas tentang pengasuhan jiwa manusia ini?
Terima emosinya. Terima emosinya. Terima emosinya. 
Barulah beranjak pada langkah selanjutnya, tentang menyalurkannya dengan sehat dan aman. 

Apakah menerima emosi perkara mudah? Tidak, terutama pada kondisi si penerima emosi sedang tidak khusyu', tidak tersambung dengan Allah. Sangat mudah untuk malah terpancing dan membalikkan emosi dengan pantulan serupa, kemarahan hebat. Atau berdalih "mendidik dan mendisiplinkan", padahal hati masih dipenuhi kebencian dan kemarahan balasan. 

Tapi apakah itu yang dicontohkan? Bukan.

Saya membayangkan fragmen A'isyah ra. membanting pinggan di hadapan tamu suami yang notabene pemimpin dan teladan tertinggi kaumnya. Bayangkanlah seorang ibu negara yang meledak marah di hadapan duta besar negara tetangga. Apa yang terjadi kira-kira? 
Bahkan jika tanpa mempertimbangkan kedudukan Rasulullah saw., kejadian seperti ini pasti sangat mengusik ego suami. Saya membayangkan, kesabaran dan pengendalian diri sekualitas apa yang dikuasai oleh Rasulullah saw. hingga mampu bertindak setenang yang diceritakan hadits yang menyejarah.

Saya membayangkan Nabi Ibrahim as., yang sebagai laki-laki tentu didominasi logika dibanding emosi. Perintah memindahkan istri dan anak yang masih bayi ke tempat yang berbahaya, "semata-mata" karena kecemburuan istri yang lain itu di mana logisnya? 
Maka kesabaran dan pengendalian diri sekualitas apa yang dikuasai oleh Nabi Ibrahim as., hingga akhirnya beliau membawa Siti Hajar dan sang bayi berjalan sedemikian jauh, lalu meninggalkan mereka begitu saja, bertahun-tahun, menyimpan rindu?

Mahal sekali harga "menerima emosi" ini.

Namun sungguh Allah Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha Adil. Untuk sesuatu yang sulit, maka balasannya pasti berlimpah.

Dari kisah A'isyah ra. di atas, hadits lain terjelaskan dengan sangat nyata; “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku”. Di akhirat nanti, untuk setiap suami yang mencontoh teladan ini, untuk Rasulullah saw.-lah terkumpul balasan terbaik.

Dari kisah Siti Hajar dan Nabi Ibrahim, bermulalah kehidupan di padang gersang yang saat ini bernama Mekah, tempat kiblat utama umat Muslim, tempat jutaan manusia berlari-lari kecil meniru langkah Siti Hajar, tempat jutaan manusia meneguk minum dari sumur zam-zam; setiap detik, sepanjang tahun, tanpa henti. Bahkan dari sumpah Siti Sarah pun saat ini menjadi sunnah; memotong tiga bagian tubuh; menindik kedua telinga, dan khitan untuk wanita. Di akhirat nanti, pada beliau-beliaulah para manusia pilihan Allah, balasan kebaikan ini terkumpul paling banyak.

Islam memberi ruang untuk luapan emosi. Tidak melulu membenarkan, tapi kita diteladankan untuk menerima. Bahwa untuknya diperlukan kesabaran yang tidak main-main, itu benar. Dan balasan atas kesabaran itu pun insyaAllah dilipatgandakan.

 ***

Isi kepala saya terbang lagi ke hal lain, karena hal yang beberapa waktu terakhir kembali terangkat, juga masih berkaitan dengan kedua kisah di atas.

Kemarahan Siti Sarah dan A'isyah, sama-sama dicetus oleh kecemburuan, terhadap istri lain dari suaminya. 
Poligami. Ia adalah bagian dari syariat, kebolehan dalam Islam; yang hadir untuk mengatur apa-apa yang sebelumnya belum diatur, membatasi yang tadinya tidak terbatas. Dua kisah di atas menggambarkan, bahwa bahkan pada kisah para lelaki dan para wanita yang paling shalih, poligami memiliki tantangan tersendiri. 

Islam mengatur dan membolehkan. Bukan memudah-mudahkan.

Sudah. Perihal poligami, aliran pikiran saya berhenti di sini. 
Tadinya rasanya banyak yang ingin ditulis tapi tiba-tiba mandek, qadarullah. Semoga ini penjagaan Allah agar saya tidak menulis mengarang semaunya tanpa ilmu.

Shalawat dan salam untuk dua teladan abadi;

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad, kama shallaita 'ala sayyidina Ibrahim wa 'ala ali sayyidina Ibrahim.

Semoga ada manfaat yang bisa diambil, wallahu a'lam bish shawab.

No comments: