04 December 2016

Bias

(Please pardon the mixed language. It is how the brain naturally work for the moment. Cinta Laura, I feel you -__-)

Beberapa hari kemarin HP saya rusak, nggak bisa baca SIM card. Telepon, SMS, aplikasi-aplikasi yang perlu mobile data; nggak bisa dipake semuanya. Ketidaknormalan terdeteksi sejak sekitar seminggu sebelumnya, sinyal sering tiba-tiba ilang, terus beberapa menit kemudian muncul lagi. Awalnya nggak terlalu mengganggu karena hilang sinyalnya juga cuma sebentar, terus jadi jadi annoying karena makin sering, sampe akhirnya nggak bisa dipake blas. 

HP yang sekarang saya pakai adalah Xiaomi Note 3, btw. Baru setengah tahun pemakaian sejak dibeli. Beberapa bulan lalu, chargernya juga tiba-tiba rusak padahal pemakaiannya normal, jadinya harus beli baru lagi karena charger nggak ter-cover garansi. So yes, this second-time trouble kinda really upset me. 
No SIM card, tulisan yang ada di pojok kanan atas layar HP, di tempat yang seharusnya tertera nama service provider dan indikator kekuatan sinyal. Padahal SIM card-nya ya ada di tempatnya, nggak pernah dibuka-buka dan diganti-ganti selama sekian bulan terakhir. Setelah rangkaian kegiatan matiin HP-buka SIM card-pasang lagi-nyalain lagi HP tidak juga berhasil memperbaiki kondisi, I did the generic thing, tanya Google.
Baru aja saya ketik "undetected SIM.." (atau yang semacamnya, don't remember what I exactly typed), opsi auto fill teratas menyarankan "mi 3", tipe HP dari produsen yang sama, dengan spesifikasi mirip dengan yang saya pakai, hanya layarnya aja yang lebih kecil. Rrrr.. so this appeared to be a common problem for the brand and type. Kesel. Nyobain beberapa langkah yang ditawarkan sebagai solusi, nothing worked. Kesel kesel.

Untungnya di sini ada service center resmi Xiaomi, tapi jam operasionalnya agak sulit disesuaikan dengan jadwal kami. Mau bawa ke counter service HP yang biasa, agak nggak yakin juga. Agenda reparasi jadinya tertunda beberapa hari. In the meantime, Aa sempet beberapa kali nyaranin untuk coba ganti SIM card pake punya Aa. But I thought broken SIM was not really what happened. Selama belasan taun pake HP, rasanya nggak pernah juga harus ganti SIM gara-gara rusak.

Suatu sore, dianter Aa, akhirnya sempet juga ke service center yang resmi. Setelah saya jelaskan masalah yang terjadi dengan HP saya, plus nunjukin kartu garansi dan nota pembelian, staf service center menjelaskan bahwa mereka hanya bisa mereparasi kalau kerusakannya ada pada software, untuk masalah lain, harus dikirim langsung ke distributor. Kalau mau klaim garansi, saya juga harus langsung kirim sendiri ke collection center di Jakarta. Mereka nggak bisa bantu karena distributor mereka beda dengan distributor HP saya (yang dibeli di kota lain). Rrrrh. Beginilah kalo pake barang dengan brand relatif baru, servis purna jualnya nggak (/belum) memuaskan. Nggak jadi diservis, HP saya bawa lagi.
Di jalan pulang, kami lewat independent service center yang dari penampilan gedungnya cukup meyakinkan, ya udah coba aja lah. Jawaban stafnya "kita harus periksa dulu kemungkinan penyebabnya apa, 3-4 harian. Nggak bisa cepet Mbak, maaf. Habis itu baru bisa kasih estimasi biaya dan perbaikannya".
Astaga, keseeel. Kok ribet amat deh ini HP. Keluar dari tempat servis itu, I immediately made a mental note: 
Nggak. Akan. Pernah. Beli. Xiaomi. Lagi.
Never. Ever.

Melihat wajah manyun istrinya, Aa akhirnya turun tangan langsung. Bongkar HP dan cari info di internet. "Besok dicobain deh ya yang di YouTube", kata Aa.
"Eh, ambilin dulu HP saya deh, cobain tuker kartunya", saya ambil sambil malas. 
SIM card diganti. Kemudian, jreeeeng.. Langsung muncul tulisan TELKOMSEL. Sinyal penuh. Mobile data berjalan normal. Aa mendelik.
Ahahahahahaha..

"Kamu mah, harus banget ya ribut dulu."
"Iiih, kalo nggak riweuh dulu kan nggak seru Aaa."

Dan ledekan pun terus berlanjut. Hahaha.

***

Waktu ke pameran buku Big Bad Wolf di Surabaya kemaren, saya sama Aa berpencar, karena genre buku yang menjadi interest kami umumnya beda. Waktu akhirnya ketemu untuk mengompilasi hasil perburuan, sebagian besar buku ternyata accidentally (or not) sama-sama tentang topik yang senada; brain, human mind, thinking process. 
Dari beberapa buku yang sudah dan sedang dibaca, semuanya menunjukkan bahwa akal manusia adalah sesuatu yang dinamis, everchanging, berinteraksi dengan berbagai input informasi. Positifnya, manusia jadi bisa beradaptasi dan menyelaraskan dengan kondisi, yang jadi kunci utama pertahanan diri dan keberlanjutan spesies. Unconcious mind (pada otak yang normal) dirancang mampu untuk menangkap konteks dalam waktu saat singkat dan menyiapkan respon yang dinilai sesuai, effortlessly. But unfortunately (?), the positives come with a cost; human brain are very prone to bias, to cognitive errors. One of the causes is because it easily interacts with information from outside. Kata dosen statistik, ibarat kalo dalam uji ANOVA, ada interaksi berarti ada inkonsistensi.

Kisah handphone rusak di atas adalah salah satu contoh, cognitive error sederhana yang sangat common akibat suatu hal bernama priming (dari asal kata prime). I was blinded to see the very simple alternative solution, changing SIM card, because I had earlier been primed to the information I happened to find on Google: the trouble is common for my particular type of phone. To add, something related to the phone (i.e. its charger) has been broken before, so the problem's got to be with the phone and not anything else. Period. Yang mana ternyata bukan. This very simple error costed me couple of days of disability to connect with the people on my circle (e.g. my son couldn't call his grandparents) and lateness in accepting information/instruction at work, which could be pretty much crucial. It was nothing though, if compared to the cost of relying social judgment solely to cognitive reasoning. 
Bias terhadap gender, ras dan usia misalnya, adalah hal yang tertanam di bawah sadar (scientifically proven, btw) dan sulit untuk dikendalikan (tentunya, karena masuknya wilayah kerja unconscious mind). Bias gender dalam karir akademik misalnya, terutama sains dan engineering, seberapapun berusaha dihilangkan, nyatanya tetep aja signifikan. Imagine you're the person in charge to hire a head researcher on a topic in spacecraft engineering, there are 2 equally strong candidates with somewhat similar qualifications, but one of them named Bill and the other named Lala; which one would you hire? If you're like most of the people, we know what your quick answer is. Daniel Kahneman, seorang psikolog dan behavioral economist, dapet nobel untuk penelitiannya tentang common human error akibat heuristic dan bias. So yes, the evident is very clear. Human mind is really really prone to errors. Can we rely on our mind to take decision on fundamental matters, then? I worry.

Tapi lalu materi pengajian beberapa pekan lalu menampar saya. Dalam Islam, pemikiran manusia, terutama manusia biasa kebanyakan, rupanya ada di urutan ke EMPAT untuk pengambilan keputusan. Fiuh.
We know, urutan pertama adalah kitabullah, yang keasliannya dijaga dengan penjagaan langit, yang bahasanya hanya satu saja. Urutan kedua sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, yang metodologi preservation-nya begitu ketat lewat evaluasi sanad. Yang ketiga adalah ijtihad para 'ulama, yang dinilai memahami kedua dasar hukum yang lebih utama. 

Allahu akbar. Pemikiran manusia memang rupanya tidak dirancang untuk menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yang fundamental, yang terkait kepentingan banyak orang misalnya. Alhamdulilah..

***

Lalu jadi ingat kasus Ahok. Sejujurnya, dari sejak melihat sendiri rekaman videonya berbulan-bulan lalu sampai sekarang, saya belum mengerti apakah tindakannya perlu penanganan hukum (karena memang bukan orang hukum sih, jadi nggak ngerti) dan sampai menimbulkan gerakan sebesar yang terjadi sekarang? 

But then, apalah artinya pemikiran remah rengginang bernama Vuterlanik ini, kalau kumpulan guru dan 'ulama sudah berijtihad dan memutuskan untuk menggerakkan umat. So yes, saya (harus) mendukung kedua aksi damai yang telah terselenggara. Dan masih merasa haru sekali melihat jutaan muslim turun ke jalan, (sebagian dari mereka mungkin perlu bertarung untuk mengalahkan ego dan pemikiran pribadi) dan manut sama 'ulama, sumber pengambilan hukum yang ketiga.

Wallahu a'lam bish shawab.


(Eh, jadi yang hadir kemarin tujuh ribu apa tujuh juta? 
Astagaa.. Rasanya common cognitive error sekalipun harusnya ga termasuk hilangnya kemampuan dasar aritmetika :P)

No comments: